Sistem Keamanan dan Kesejahteraan di Amerika Sebelum 9/11

Other

by Febri Ramdani

Kejadian bom WTC pada 11 September 2001 sangat menggemparkan dunia. Tragedi tersebut membuat regulasi imigrasi di Amerika Serikat menjadi semakin ketat. Hal ini tampak dari pengajuan visa hingga pemeriksaan di bandara. Tujuannya agar warga negaranya dapat hidup dengan damai dan aman.

Soal regulasi, dua orang anggota keluarga saya punya cerita yang berbeda. Terutama soal kondisi Amerika sebelum peristiwa 9/11 atau lebih tepatnya di era pertengahan tahun 90an. Ketika itu, mereka ada yang pernah berwisata ke Amerika atau mengenyam pendidikan disana.

Dua anggota keluarga saya ini banyak berbagi cerita soal mudahnya imigrasi di Amerika. Menurut mereka, latar belakang agama, ras, atau suku apapun tidak menjadi masalah untuk masuk ke negeri Paman Sam itu. Bahkan, jika ingin menjadi pekerja 'ilegal' (biasanya visa yang digunakan bukan visa bekerja), hal tersebut masih bisa dilakukan. Asalkan, orang tersebut tidak melakukan tindakan kriminal atau berdagang narkoba.

Pada pertengahan tahun 90an, para pekerja 'illegal' yang menjadi imigran gelap itu masih relatif mudah untuk bisa pulang dengan aman ke negaranya. Mereka cukup membayar 100USD untuk sebuah 'stempel mundur' (seolah-olah mereka hanya menetap sebentar di Amerika). Cara ini memungkinkan mereka untuk dapat kembali ke tanah air. Syaratnya, mereka tidak melakukan tindakan kriminal.

Berkaitan dengan wejangan untuk tidak melakukan tindakan kriminal ini, salah seorang kerabat Paman saya sudah merasakan akibatnya. Suatu waktu, orang ini pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan disana. Namun, ketika pulang ke Indonesia, dia meninggalkan mobil yang dibelinya di pinggir jalan. Tampaknya, hal tersebut adalah sebuah pelanggaran hukum.

Kerabat Paman saya ini memang bisa pulang kembali ke Indonesia dengan mudah. Akan tetapi, dia meninggalkan catatan buruk di Amerika. Sehingga, ketika dia harus bertandang kembali ke Amerka, dia harus bertanggung jawab pada pelanggaran hukum meninggalkan mobil di pinggir jalan itu.

KESEJAHTERAAN & KEAMANAN MASYARAKAT

Sekilas, kesejahteraan masyarakat di Amerika cenderung lebih terjamin daripada Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan masyarakat Suriah yang tinggal di wilayah ISIS. Perbedaannya seperti bumi dan langit.

Saya ingat betul, ketika masih berada di wilayah ISIS, para warga yang tidak memiliki pekerjaan, mereka tidak mendapatkan tunjungan setiap bulannya. Bahkan, jika mereka menolak bergabung dengan ISIS, maka mereka akan dikucilkan serta di labeli munafik.

Lebih parahnya, jika menentang kebijakan yang ditetapkan ISIS, mereka akan diberikan hukuman yang sangat berat. Seperti contohnya, jika ketahuan merokok maka si pelanggar akan dikenankan sanksi berupa penjara, cambuk, serta denda mencapai ribuan USD.

Sementara itu, bagi yang mendapatkan pekerjaan, gaji yang diberikan untuk orang-orang yang bekerja sebagai pelayan restoran, loper koran, kasir, atau tukang cuci piring bisa dikatakan lumayan. Uang tersebut terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi, hal ini kembali lagi ke individu masing-masing. Jika gaya hidup melampaui kebutuhan sehari-hari, pasti akan selalu merasa tidak cukup.

Menjalani kehidupan dengan bebas, damai, nyaman, dan aman tentu menjadi impian banyak orang. Mencoba sekilas merefleksikan apa yang telah saya alami di Suriah, saya justru melihat bahwa terkadang kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan sekuler (seperti di negara-negara Eropa atau Amerika) justru menerapkan sistem-sistem yang ada di dalam Islam.
"Karena sebuah negara yang tidak menyatakan bahwa mereka adalah negara Islam, tapi berlaku adil dan memberikan kedamaian bagi setiap warganya, itu jauh lebih baik daripada negara Islam tapi tidak mencerminkan perilaku seperti seorang Muslim."

Komentar

Tulis Komentar