Kisah Muhajir, Mengenal Abdullah Sungkar Dedengkot Terorisme dari Bapaknya

Other

by Kharis Hadirin

Banyak orang mengatakan keluarga bisa menjadi benteng pertahanan bagi anak-anaknya dari doktin radikalisme. Namun, bagaimana jika radikalisme itu sendiri muncul justru dari orang terdekatnya, yaitu orangtua?

Seperti pada kasus Muhajir Rohmat bin Mustakim, pria kelahiran tahun 1982, Desa Glagah, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Sejak kecil, Muhajir sudah dikenalkan ajaran-ajaran Islam yang ketat oleh keluarganya. Bahkan tak jarang, dia diajak orangtuanya untuk ikut berbagai kajian Abdullah Sungkar (tokoh NII - JI) saat kunjungannya ke Lamongan atau Surabaya.

Kebiasaan mendapat pendidikan seperti ini oleh ayahnya akhirnya membentuk pribadinya sekarang. Bahkan berdampak pula pada saudara-saudaranya.

Sebelum peristiwa bom Bali 2002, beberapa tokoh Jamaah Islamiyah (JI ) pernah berkunjung ke rumahnya. Seperti Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Ali Ghufron dan Amrozi. Sebabnya, Mustakim yang tak lain adalah ayah Muhajir merupakan anggota JI, dibaiat langsung Abdullah Sungkar. Sejak saat itu, ayahnya aktif terlibat berbagai kegiatan kelompok JI.

Doktrin yang ditanamkan sangat kuat, orangtua Muhajir juga menolak Pancasila sebagai dasar negara. Sama seperti pembaiatnya, yakni Abdullah Sungkar, yang sempat buron belasan tahun di Malaysia karena takut ditangkap pemerintah Indonesia, sebab menolak asas tunggal Pancasila.

Pandangan itu menurun kepada Muhajir kecil. Apalagi sejak SD, Muhajir sudah dikenalkan dengan berbagai bacaan tentang peperangan dan konflik, termasuk buku-buku tentang tragedi Tanjung Priok di Jakarta (1984) dan peristiwa Talangsari di Lampung (1989).

Sang ayah juga kerap menceritakan tindakan rezim Suharto yang dianggap zalim, sewenang-wenang kepada umat Islam. Salah satunya soal penggerebekan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo sebab dituding rezim akan berbuat makar.

Persinggungan Mustakim dengan JI juga tak bisa lepas dari peran Ali Ghufron alias Mukhlas. Kala itu, Ali Ghufron sering mendapatkan kesempatan untuk mengisi kajian di desa di mana Muhajir tinggal. Bermula dari aktivitas inilah, Ali Ghufron kemudian mulai merekrut orang-orang lokal yang kelak menjadi perpanjangan tangannya. Melalui doktrin ‘anti Pancasila’, ia berhasil menarik banyak anak-anak dari desa tersebut untuk menjadi santrinya, termasuk Muhajir.

Tangan dingin Ali Ghufron berhasil mencetak kader-kader JI melalui lembaga pendidikan yang didirikannya bersama keluarga, yakni Ponpes Al Islam.

Paskaperistiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002, Ponpes Al Islam mulai sering dikunjungi oleh orang-orang tidak dikenal. Umumnya, mereka adalah anggota kepolisian atau TNI yang menyamar menjadi warga sipil untuk mencari informasi detil tentang aktivitas yang ada di dalam pesantren.

Kala itu, beredar kabar bahwa Al Islam diduga menjadi tempat persembunyian para pelaku bom Bali. Namun pihak aparat masih menyelidiki lebih jauh soal perannya sembari mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.

Sementara Muhajir, yang saat itu menjabat sebagai ustaz di pesantren tersebut, mengarahkan kepada para santri-santri agar selalu waspada dalam menerima tamu. Apalagi sering terlihat aparat yang mondar-mandir di depan gerbang pesantren.

Hingga menjelang awal 2003, Amrozi ditangkap oleh aparat kepolisian di rumahnya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan pada Jum’at pagi. Sorenya, ia bersama Ali Imron melarikan diri ke Surabaya untuk menghindari risiko penangkapan.

Masa pelarian ini pun dijalaninya selama hampir sebulan dengan cara berpindah-pindah tempat, dari Lamongan ke Surabaya atau sebaliknya. Masa pelarian Muhajir akhirnya terhenti ketika mengetahui Ali Imron tertangkap di Pulau Brukang lepas pantai Samarinda, Kalimantan Timur pada Senin (13/1/2003).

Dia menyerahkan diri kepada aparat. Dalam proses persidangan, Muhajir dijatuhi hukuman pidana 4 tahun penjara karena dianggap membantu menyembunyikan informasi terorisme.

 

Link foto: https://pixabay.com/id/photos/ayah-putra-berjalan-keluarga-anak-909510/

Komentar

Tulis Komentar