Gen-FC: Definisi Baru Anak Muda Penggerak Perdamaian

Other

by Boaz Simanjuntak

Kita mengenal banyak definisi “Generasi”, yang lebih populer dengan istilah “Gen”. Kantar Consulting mengeluarkan klasifikasi generasi dalam amatan di tahun 2018, yaitu: Generasi Baby Boomers (usia 54-72 tahun), Generasi X (usia 40-53 tahun), Generasi Millennials atau Milenial (usia 22-39), dan Generasi Centennials (0-21 tahun).

Di awal tahun 2019, Hootsuite dan We Are Social mengeluarkan data dan tren tentang perilaku pengguna internet dan medsos. Untuk Indonesia, laporan tersebut menunjukkan pengguna internet 150 juta (naik 13% atau sekitar 17 juta dari tahun 2018) dan pengguna medsos melalui telepon genggam 130 juta (naik 8,3% atau sekitar 10 juta dari tahun 2018). Rata-rata setiap hari untuk waktu menggunakan internet melalui perangkat apa pun adalah 8 jam 36 menit dan rata-rata setiap hari untuk waktu menggunakan medsos melalui perangkat apa pun adalah 3 jam 24 menit. Platform medsos yang digunakan, Youtube 88%, Whatsapp 83%, Facebook 81%, dan Instagram 80%.

Lalu, dimana letak relevansi generasi muda dan tren penggunaan medsos di Indonesia dengan upaya damai untuk mencegah kekerasan? Pemilahan generasi berdasarkan umur erat kaitannya dengan penempatan produk yang tepat sasaran. Saya lebih menyukai menggunakan kata Gen-FC bukan Footbaal Club alias klub sepak bola tapi Flexible atau Fleksibel dan Connected atau terkoneksi. Fleksibel artinya mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar dan terkoneksi artinya tahu dengan siapa berjejaring. Gen-FC bisa dilekatkan pada anak muda, dengan syarat memiliki “kesadaran pada situasi”, yaitu memperhatikan di mana sedang berada, siapa yang ada di sekitar, dan apa yang sedang terjadi.

Saat mengunjungi Sulawesi Tengah, saya bertemu dengan Lian Gogali, perempuan yang menggerakkan perdamaian di Poso, dimulai dari wilayah tempat tinggal Lian di Tentena. Upaya Lian memadupadankan potensi anak muda dan kecepatan diseminasi informasi melalui medsos, nampak pada program “Jelajah 12 Titik Nilai Kebersamaan” yang terkait dengan kearifan lokal dan melibatkan 200 anak muda di Poso. Keduabelas titik nilai kebersamaan Poso, adalah: KeTuhanan di desa Mapane, Perdamaian di desa Tohorondo, Keberagaman di desa Pinedapa, Kekeluargaan di desa Pamona, Kemandirian di desa Salukaiya, Solidaritas di desa Malitu, Kesederhanaan di desa Pamona, Kesatrian di desa Kandela, Kesetaraan di desa Pamona, Keadilan di desa Pamona, Kearifan Tradisi di desa Malitu/Dulumai, dan Saling Percaya di desa Tokorondo.

Menyebut Poso, teringat konflik komunal yang mengerikan di wilayah yang indah, dipeluk gunung dan laut. Dalam disertasi Dave McRae, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul “Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar Agama Terpanjang di Indonesia Pasca Reformasi”, terungkap bahwa konflik Poso yang dimulai dari periode pertama 1998-2000, melibatkan anak-anak muda di kampung-kampung Poso yang kemudian menyebar menjadi kerusuhan urban antara rivalitas jaringan patronase yang sudah terbentuk.

Kerusuhan Poso dimulai dari anak-anak muda, saat medsos dan internet belum secanggih sekarang. Namun, dengan berkembangnya teknologi informasi, perlu diwaspadai potensi konflik yang bisa memicu kekerasan, dari kabar bohong dan pelintiran kebencian. Medsos jadi semacam alat untuk menguji akal sehat dan kemampuan menahan diri untuk menyebar konten yang tidak bisa terverifikasi kebenarannya. Jadi, anak muda bisa memulai dengan memetakan dengan siapa berjejaring dan bagaimana ingin menjalankan jaringan yang sudah terbentuk. Jika tidak memiliki “kesadaran pada situasi”, seperti memverifikasi pertemanan dan informasi, bisa saja anak muda menjadi fleksibel dan terkoneksi dengan lingkaran kekerasan. Upaya serius Lian melibatkan anak muda sebagai penggerak perdamaian bisa kita tiru dalam konteks kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia yang beragam. Selamat berjejaring.

Foto: September Eleventh Families for Peaceful Tomorrows

Komentar

Tulis Komentar