Ribuan Ulama Perempuan Bertemu Perjuangkan Hak Keadilan Perempuan

News

by Akhmad Kusairi

Kurang lebih 1500 ulama perempuan bertemu dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara, Jawa Tengah pada Kamis (24/11/2022). Tidak hanya dari Indonesia, tercatat ulama perempuan yang berasal dari 31 negara turut menghadiri kegiatan ini.

Kongres bertema "Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan" ini membahas berbagai isu dan persoalan—yang selama ini meminggirkan peran perempuan. Perempuan termasuk kelompok rentan yang menjadi korban eksploitasi, diskriminasi, objek kekerasan, pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan hingga perkosaan. Isu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara di dunia.

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar hadir dalam acara tersebut.

Ketua Pengarah Majelis KUPI II Nyai Badriyah Fayumi menyampaikan alasan dipilihnya kampus dan pesantren sebagai tempat pelaksanaan KUPI II karena tradisi keilmuan di kedua tempat tersebut memiliki cara berpikir yang khas. Begitupun KUPI.

Menurut Badriyah, pesantren mewakili keilmuan Islam berbasis turots, belajar urut sampai khatam. “Sementara kampus mewakili tradisi keilmuan Islam yang melihat satu persoalan secara tematik dan komprehensif dengan pendekatan disipliner,” katanya.

[caption id="attachment_14660" align="alignnone" width="768"] Suasana Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara, Jawa Tengah. (foto dokumentasi KUPI)[/caption]

Badriyah juga menceritakan pesatnya kemajuan ulama perempuan di Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurutnya, hal itu tidak terbayang pada 30 atau 40 tahun sebelumnya. Bahkan, lanjut dia, jika ada kiai pemilik pesantren tutup usia—walaupun ada istrinya (nyai) yang sebenarnya pantas menjadi pengganti—tetap dinilai tidak pantas menggantikannya. Sosok yang dinilai pantas menggantikan kiai adalah anak laki-laki atau putranya.

“Meskipun masih sangat belia sekali pun, yang penting laki-laki,” katanya.

Namun KUPI menjawab imajinasi tentang adanya ulama perempuan. “Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari di Bangsri Jepara, justru dipimpin Nyai Hindun Anissa. Pondon Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Ciwaringin, Cirebon dipimpin Nyai Masriyah Amva dan Pondok Pesantren Putri Al Badriyyah Kajen Pati didirikan Nyai Nafsiah Sahal.” terangnya.

Secara singkat, Badriyah menjelaskan awal mula terbentuknya KUPI dari reuni kader Pendidikan Ulama Perempuan Rahima. 2017, KUPI lahir. Sejak saat itu hingga sekarang, KUPI telah menjadi objek penelitian lebih dari 30 karya ilmiah, meliputi skripsi, tesis hingga disertasi.

[caption id="attachment_14661" align="alignnone" width="768"] Suasana Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara, Jawa Tengah. (foto dokumentasi KUPI)[/caption]

Selain itu, Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi itu menambahkan bahwa ulama perempuan telah menjadi bagian dari setiap peradaban ilmu pengetahuan. Ulama perempuan mengemban misi para Nabi untuk berpihak dan membela kaum dhu’afa dan mustadh’afin.

Menurut Badriyah, ulama perempuan sering mengalami berbagai tantangan, seperti pengabaian, delegitimasi bahkan kekerasan dalam menjalankan misi profetik ini. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya penguatan pengetahuan dan keahlian, jejaring antar ulama perempuan, afirmasi dan apresiasi kerja-kerja mereka, serta pengokohan eksistensi secara kultural.

“KUPI bukan organisasi massa maupun organisasi struktural. KUPI adalah sebuah gerakan dan ruang perjumpaan yang disangga oleh banyak pihak dengan satu visi utama, yaitu peradaban yang berkeadilan. Kongres ini adalah ruang perjumpaan antar pejuang ulama perempuan, para pemangku kebijakan, ruang bertemunya berbagai sudut pandang, serta ruang untuk mengkompromikan antara teori dan praktik semangat keadilan KUPI,” katanya.

BACA JUGA: Ancaman Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia

Lebih lanjut, Nyai Badriyah menambahkan jika KUPI mendapat apresiasi dari Negara. Misalnya dalam beberapa kesempatan KUPI diundang oleh Kementerian dan Lembaga Negara guna diminta pandangannya dari perspektif ulama perempuan.

“KUPI adalah satu-satunya suara ulama Islam yang telaten untuk beraudiensi secara rutin dengan pemerintah. Alhamdulillah, apa yang kami sampaikan didengar dan kemudian mempengaruhi kebijakan. Rekognisi terhadap KUPI juga datang dari dunia internasional, misalnya Inggris, Turki, Afghanistan, Pakistan, dan lain-lain. Kehadiran 31 negara sahabat dalam Kongres II kali ini juga turut menegaskan tentang rekognisi nyata itu,” ungkap dia.

Badriyah menegaskan empat komponen penting yang menjadi fondasi dan semangat KUPI. Yaitu rekognisi, kaderisasi, edukasi dan diseminasi. Empat visi KUPI saling berintegrasi. Yaitu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan dan kesemestaan.

“Visi-visi itu kita wujudkan dalam tema-tema musyawarah keagamaan, di mana setiap tema ini memiliki tekanan tertentu pada satu visi, tetapi semua visi akan terintegrasi,” terangnya.

[caption id="attachment_14662" align="alignnone" width="768"] Suasana Kongres Ulama Perempuan Indonesia II (KUPI II) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara, Jawa Tengah. (foto dokumentasi KUPI)[/caption]

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah meminta kepada KUPI untuk ikut terlibat aktif dalam mengadvokasi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

“Jika tadi Ibu Badriyah menyampaikan sukses mengadvokasi DPR dan pemerintah untuk mengegolkan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), maka saya kira forum ini juga dapat menginisiasi dan mengadvokasi disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT),” tambahnya.

Ida juga meminta kepada KUPI agar juga ikut aktif dalam meningkatkan kompetensi pekerja perempuan. Pasalnya angkatan kerja kini didominasi perempuan yaitu sekitar 56 persen dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Selain itu, lanjut Ida, KUPI juga harus ikut memikirkan dan mengkaji terkait keberadaan 4,7 juta pekerja rumah tangga yang masih belum memiliki perlindungan hukum maksimal.

“Kalau pun perempuan bekerja ke luar negeri—dengan tingkat pendidikan ini mereka hanya dapat memasuki sektor informal atau domestik. Pemerintah sedang berjuang keras meningkatkan kompetensi perempuan pekerja migran kita sehingga bisa memasuki pasar pekerjaan formal,” ujar Ida.

Sedangkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar berharap agar KUPI dapat mendorong perempuan terlibat aktif dalam kancah pemilihan Kepala Desa serta perangkat desa. Dia berharap agar 30 persen diisi oleh kaum perempuan.

Hasilkan Delapan Rekomendasi

Kongres KUPI II ini sedikitnya menghasilkan delapan rekomendasi:

Pertama, rekognisi eksistensi ulama perempuan telah diterima di kalangan masyarakat, pesantren, perguruan tinggi, pemerintahan, media dan dunia internasional. Oleh karena itu, negara dan masyarakat sipil perlu menjadikan ulama perempuan menjadi mitra kerja strategis dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan isu-isu strategis bangsa, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga desa atau kelurahan.

Kedua, memuat tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, menyebabkan perempuan tersudut oleh kehamilan, stigma, dan diskriminasi. Ulama perempuan meminta negara untuk mengubah dan menyelaraskan regulasi yang berpihak pada keselamatan dan perlindungan jiwa perempuan dan menerapkannya dengan konsisten.

Negara diminta untuk mempercepat penyusunan dan implementasi berbagai kebijakan yang terkait kelompok rentan kekerasan, terutama peraturan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Ketiga, ulama perempuan memberikan rekomendasi terkait permasalahan sampah dan keberlangsungan lingkungan hidup, ekstremisme beragama, praktik pemaksaan perkawinan, hingga mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di berbagai komunitas lokal dunia.

KUPI juga menyerukan bahwa ekstremisme beragama telah terbukti berdampak langsung terhadap rusaknya kemaslahatan perempuan, seperti peningkatan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama.

Keempat, negara harus melindungi seluruh warga negara, baik laki-laki dan perempuan dari bahaya ekstremisme dengan memperkuat nilai-nilai moderasi beragama.

Kelima, berisi tentang catatan praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak telah terbukti menyengsarakan pada keberlangsungan hidup perempuan dan peradaban. Ulama perempuan meminta negara agar memastikan implementasi regulasi-regulasi terkait untuk menghentikan praktik pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak.

Keenam, memuat tentang pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis terbukti memberikan dampak buruk bagi perempuan. Mereka meminta agar negara mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik pemotongan dan pelukaan genetalia pada perempuan tanpa alasan medis melalui pembuatan regulasi dan tahapan implementasinya.

Ketujuh, berisi tentang solidaritas bagi masyarakat Muslim yang tertuang dalam butir rekomendasi keempat, khususnya kelompok perempuan di berbagai negara yang mengalami operasi kemanusiaan, terutama di Afghanistan, Iran, Myanmar, Turki, dan China (Uyghur).

Kedelapan, mendorong tumbuhnya gerakan ulama perempuan di berbagai komunitas lokal dunia dengan berbekal pada pengalaman ulama perempuan sebagai inspirasi, di mana gerakan intra dan inter faiths, demokrasi, pelibatan laki-laki, dan keadilan lingkungan dilandaskan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan. (*)

 

 

Komentar

Tulis Komentar