Cerita Mantan Napiter di Balik Penangkapan Temannya

News

by Eka Setiawan

Di lingkungan pergaulan para “jihadis”, selalu ada tarik-menarik kelompok. Ada opsi-opsi tertentu yang ditawarkan. Bahkan di lingkungan yang punya cerita baru di dalamnya, dalam artian ada rekan yang sudah “bertaubat”.

Cerita ini saya dapatkan kemarin sore, ketika duduk santai minum kopi di sebuah kafe bersama beberapa kawan. Salah satu dari kami pernah menjalani hukuman akibat kasus terorisme alias mantan narapidana terorisme (napiter).

Dia bercerita tentang bagaimana “susahnya” menasihati kawan di kelompoknya supaya tidak lagi ikut-ikutan ke hal-hal yang bisa menyebabkannya berurusan dengan aparat penegak hukum.

Yang diceritakannya bernama Agus Pesad. Penelusuran ruangobrol.id, Agus Pesad ini punya nama asli Agus Imam Hanafi, bapak empat anak kelahiran Kediri 25 Agustus 1982.

Adapun, julukan pesad ini merupakan akronim dari pengajian Sabtu Ahad. Jadi disingkat pesad. Yang bersangkutan adalah koordinator kajian itu, lokasinya di Masjid Mujahidin Tanjung Perak Surabaya.

Agus Pesad ditangkap Densus 88 pada Jumat 26 Februari 2021 di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Saat itu, ada serangkaian penangkapan terduga teroris oleh tim elite Polri berlogo burung hantu.

Jauh sebelum ditangkap, sekitar 5 atau 6 bulan sebelumnya, si mantan napiter ini bercerita bertemu dengan Agus Pesad di salah satu kota di Jawa Timur.

“Ketika itu dia bercerita kalau sudah ‘bendera putih’ lah,” ungkap mantan napiter tersebut.

Cerita demi cerita disampaikan. Sekira 2 jam, mereka mengobrol. Intinya si Agus Pesad ini seperti ketakutan karena ada beberapa penangkapan oleh Densus 88.

Di obrolan mereka, diberi semacam nasihat agar sudah tidak usah lagi berkumpul dengan teman-temannya yang masih “keras”. Ini merujuk pada tindakan-tindakan atau aktivitas yang bisa membuatnya berurusan dengan pengadilan, sesuai dengan regulasi pemberantasan tindak pidana terorisme yang berlaku di Indonesia.

Setelah obrolan panjang lebar itu, keduanya berpisah. Masing-masing kembali ke kota tempat mereka tinggal. Berbeda kota. Aktivitasnya berbeda-beda.

Namun, beberapa bulan kemudian, si mantan napiter ini kaget karena orang yang ditemuinya, meminta nasihat darinya, ternyata ditangkap Densus.

Kekagetannya disebabkan ketika selepas pertemuan itu dia mengira sudah akan setop dari aktivitas-aktivitas yang bisa membuatnya terjerat terorisme.

“Tentunya setelah kami bertemu, saya tidak tahu dia kemudian bergaul dengan siapa-siapa saja, apa saja yang dilakukan?,” lanjutnya.

Mantan napiter itu kemudian merefleksikan dirinya. Apalagi sebelum berurusan dengan aparat penegak hukum, pun ketika lepas menjalani hukuman penjara pun ada “teman-teman” lamanya yang cepat mendatangi. Mengajaknya kembali ke lingkaran yang dulu. Tentunya dengan berbagai iming-iming.

“Nanti akan saya besuk kalau dapat izin (dari Densus). Saya pingin ngobrol-ngobrol dengannya, kenapa bisa (ditangkap)? Mana janjinya dulu kalau sudah “bendera putih” itu?,” tutupnya.

 


Komentar

Tulis Komentar