Pelajaran dari Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Bagi penggemar sastra terutama sastra klasik, pasti pernah membaca atau minimal mendengar novel roman berjudul “Anak Perawan Di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir Alisyahbana. Saya sendiri sempat membacanya di perpustakaan Lapas Salemba.


Tidak terlalu panjang seperti roman Salah Asuhan atau Siti Nurbaya. Tapi kisahnya sangat berkesan bagi saya. Kisah seorang pimpinan penyamun yang tadinya sangat menakutkan namun ketika terluka parah ia kemudian dirawat oleh seorang gadis yang ia sekap di dalam markasnya di tengah hutan belantara. Di akhir cerita nanti si gadis bisa menyadarkan seorang pimpinan penyamun karena tersentuh rasa kemanusiaannya.


Sebelum saya mengungkapkan pelajaran dari kisah dalam novel ini, perkenankan saya menyampaikan sinopsis kisahnya secara ringkas.


Inilah kisahnya. Saya mengutip dari situs ini dengan sedikit perubahan dan penyesuaian.


Seorang saudagar kaya raya yang bernama Haji Sahak hendak pergi berdagang ke Palembang. Dari Pagar Alam menuju Palembang, Haji Sahak membawa berpuluh-puluh kerbau dan beberapa macam barang dagangan lainnya. Istri dan anak perawannya juga ikut bersamanya.


Di tengah perjalanan, rombongan Haji Sahak dicegat segerombolan perampok yang dipimpin oleh Medasing. Perampok ini sangat kejam. Haji Sahak, istrinya, Nyi Hajjah Andun, serta rombongan Haji Sahak lainnya dibantai oleh gerombolan Medasing. Akan tetapi, Sayu, anak perawan Haji Sahak, tidak dibunuh. Dia dibawa ke sarang penyamun pimpinan Medasing.


Suatu hari, Samad, anak buah Medasing yang bertugas sebagai pengintai datang ke sarang penyamun dan meminta bagian hasil perampokan pada Medasing. Selama berada di sarang penyamun itu, dia jatuh hati pada Sayu yang memang sangat cantik.


Samad kemudian berniat membawa Sayu lari dari sarang penyamun tersebut. Dia pun membisikkan niatnya kepada Sayu secara diam-diam dan berjanji akan mengantarkan Sayu kepada keluarganya di kampung halamannya.


Pada awalnya, Sayu terbujuk rayuan dan janji-janji Samad. Dia memutuskan untuk lari bersamanya. Akan tetapi, sebelum niatnya terlaksana, dia menangkap gelagat tidak baik pada diri Samad. Dia mulai ragu dan tidak percaya. Pada hari yang telah mereka sepakati, Sayu dengan tegas menolak ajakan Samad. Walaupun berat hati, dia lebih memilih tetap akan tinggal di sarang penyamun tersebut.


Setelah merampok saudagar Haji Sahak, perampokan kelompok Medasing selalu mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut karena Samad selalu membocorkan rahasia perampokan Medasing kepada saudagar-saudagar atau pedagang-pedagang kaya yang hendak dirampok oleh kelompok Medasing.


Hal itu ia lakukan karena sakit hati melihat Sayu lebih memilih tinggal bersama Medasing daripada lari bersamanya meninggalkan gerombolan Medasing.


Itulah sebabnya, setiap kali mereka menyerang para pedagang atau saudagar yang lewat, mereka mendapat perlawanan yang luar biasa. Para pedagang atau saudagar tersebut telah bersiap menunggu Medasing dan gerombolannya. Akibatnya, banyak anak buah Medasing yang terluka parah dan meninggal.


Lama-kelamaan anak buah Medasing hanya tinggal seorang, yaitu yang bernama Sanip. Betapa hancur hati Medasing menerima kenyataan pahit ini. Kepahitan itu pun harus bertambah ketika dalam kenekatannya merampok untuk yang terakhir kali, Sanip, orang yang paling dia sayangi itu, meninggal dunia. Medasing sendiri terluka parah, namun berhasil menyelamatkan diri.


Setelah Sanip meninggal, di sarang penyamun itu hanya tinggal Sayu dan Medasing saja. Sewaktu Medasing terluka parah, Sayu merasa bingung. Di samping itu, persediaan makanan mereka semakin menipis. Awalnya, Sayu merasa kasihan sekaligus takut kepada Medasing. Antara perasaan hendak menolong dengan perasaan takut pada Medasing berkecamuk dalam hati dan pikirannya.


Dia takut kepadanya sebab bagaimanapun, Medasing merupakan seorang pimpinan perampok yang kejam. Medasing sudah beberapa kali membunuh orang, termasuk membantai kedua orangtuanya. Seluruh anak buah Medasing yang jumlahnya puluhan itu pun, tak seorang pun yang berani melawannya.


Akan tetapi, perasaan takut dan benci itu akhirnya terkalahkan oleh niatnya untuk menolong. Dia memberanikan diri mendekati Medasing. Dengan gemetar, dia mengobati Medasing.


Mula-mula mereka berdua tidak banyak bicara. Sayu tidak berani berbicara sebab dia takut pada Medasing, sedangkan Medasing mempunyai karakter yang tidak banyak bicara. Dia hanya bicara tentang hal-hal yang penting saja. Namun lama-kelamaan, mereka berdua semakin akrab.


(Bersambung)



ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar