Akurnya Kelenteng Pay Lien San dan Masjid Al-Barokah Saat Imlek

Other

by Ahsan Ridhoi

Hari raya Imlek tahun ini jatuh pada 26 Januari 2020. Masyarakat Tionghoa di manapun berada merayakannya. Dari sekian banyak perayaan yang mereka gelar, terselip sebuah cerita menarik dari Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Di Desa Glagahwero, Kecamatan Panti, terdapat sebuah kelenteng bernama Pay Lien San. Kelenteng yang telah berdiri lebih dari 30 tahun ini, hari itu terlihat sibuk. Tak hanya umat Tri Dharma yang ingin menjalankan ibadah yang harus mereka jamu, melainkan juga jamaah Masjid Al-Barokah yang lokasinya hanya 9 meter dari kelenteng. Para jamaah masjid tersebut akan turut merayakan Imlek.

Menurut pengurus kelenteng, Hery Novem Stadiono, seperti dilansir Detik.com, pemandangan semacam itu telah berlangsung sejak setelah reformasi. Ketika larangan perayaan Hari Raya Imlek dan hari besar Tionghoa lain dicabut Presiden Abdurrahman Wahid.

Hery mengenang saat itu sebagai hari paling membahagiakan bagi warga Tionghoa, khususnya di sekitar Kecamatan Panti. Mereka tak perlu lagi merayakan Imlek dengan diam-diam. Mereka bisa menggunakan baju baru di luar rumah, membuka pintu lebar-lebar bagi tamu dan sanak saudara, bisa beribadah ke kelenteng tanpa takut diincar Babinsa, dan yang lebih penting lagi bisa merayakannya bersama tetangga yang mayoritas muslim.

Warga sekitar kelenteng, menurut Hery, adalah kelompok muslim NU yang toleran. Mereka tak pernah mengusik keberadaan kelenteng, maupun warga Tionghoa yang tinggal bersama mereka di lingkungan tersebut. Selama era Orde Baru, kata Hery, tetangga-tetangga muslimnya bersimpati kepadanya dan warga Tionghoa lainnya. Mereka menutup mulut kepada Babinsa atau perangkat desa yang selalu kasak-kusuk tiap hari raya Tionghoa tiba.

Hery pun menyatakan, warga setempat tak masalah ketika kelenteng hendak direnovasi menjadi lebih besar, padahal sangat berdekatan dengan masjid. Justru, menurutnya, pengurus masjid setempat mendukung renovasi kelenteng. "Biar semakin menjadi kampung agamis," kata Hery menirukan alasan pengurus masjid.

Hasil dari keterbukaan mayoritas di Desa Glagahwero kepada minoritas Tionghoa, adalah keharmonisan dalam menjalani kehidupan. Terutama kehidupan beragama. Saat tiba waktu ibadah bagi muslim, seperti hari raya Idul Fitri, pengurus dan jamaah kelenteng turut membantu persiapan. Begitupun saat Imlek tiba, warga muslim ikut membantu persiapan dan ikut bahagia.

"Kalau sedang azan, kami ibadahnya pelan-pelan. Mereka juga tak pernah memasang suara speaker terlalu lantang," kata Hery.

Salah satu momen kebersamaan yang selalu dikenang Hery, adalah saat Gus Dur wafat. Kesedihan menghampiri hati jamaah Masjid Al-Barokah dan umat kelenteng Pay Lien San. Semua berkabung selama 40 hari penuh. Kedua umat tempat ibadah tersebut menggelar doa bersama.

"Kami setiap malam tahlilan dan doa bersama di belakang kelenteng. Tanpa Gus Dur, kami tidak akan pernah bisa merayakan Imlek dan diakui. Kami benar-benar kehilangan sosoknya," ujar Hery.

Menjelang sore hari, perayaan makin meriah. Namun perayaan terhenti sejenak untuk mendengarkan azan Ashar dan menghormati muslim melaksanakan salat Ashar. Umat Islam pergi ke Masjid Al-Barokah untuk salat, masyarakat Tri Dharma menunggu. Usai Ashar, kemeriahan berjalan kembali.

Komentar

Tulis Komentar