Ekstremis Perempuan Ciptakan Tantangan Tersendiri 

Other

by Administrator

Insiden Bom Sibolga pada Maret 2019, Bom Surabaya Mei 2018, dan serangkaian insiden teror lain di Indonesia melibatkan perempuan sebagai pelaku utama.

Mereka tak lagi jadi pemain pasif, pendukung suaminya, tapi ikut aktif melakukan amaliyah. Bahkan pada beberapa kasus sampai mengorbankan nyawa plus membawa anaknya. Bom Sibolga dan Surabaya salah satu kasusnya.

Lantas apakah “kenekatan” mereka hanya itu? Tentu tidak. Coba saja lihat pada rentetan insiden Mako Brimob Kelapa Dua Depok awal Mei 2018 - sebelum insiden Surabaya - di insiden itu turut ditangkap 2 perempuan yang membawa senjata tajam berupa gunting untuk menyerang polisi.

Insiden di Pandeglang Banten, tepatnya di Alun-Alun Menes pada Oktober 2019 lalu juga melibatkan perempuan sebagai eksekutor serangan. Ketika itu Wiranto (saat itu menjabat Menko Polhukam) jadi sasarannya.

Pertanyaan yang sama, apakah hanya itu? Ternyata jawabannya tidak. Pada 2016 lalu ada penangkapan eks Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sudah “menyiapkan dirinya” untuk menjadi martir.

Bahkan salah satu tersangkanya (saat ini jadi terpidana) Ika Puspitasari, menurut hasil BAP, juga lebih berani dari laki-laki.  “Kalau sudah buron, kenapa nggak sekalian amaliyah?” kira-kira begitu yang dikatakan Ika pada buronan kasus terorisme.

Dari kasus-kasus itu, muncul pertanyaan: benarkah perempuan kalau sudah jadi ekstrimis justru lebih “kencang” dari ekstremis laki-laki? Apakah mereka lebih berkomitmen dibandingkan yang laki-laki?

Kalau ternyata iya, ini tentu mengandung beberapa konsekuensi penting;

Pertama, perempuan ekstremis akan lebih susah bertobat dan ditobatkan (disengagement, deradikalisasi, reintegrasi, dsb). Ini adalah tantangan baru untuk mencari cara tepat mencegah sekaligus menangani ekstremis perempuan.

Kedua, tren bahwa jumlah ekstremis perempuan makin banyak tentu mengkhawatirkan. Dari yang dulu pendukung pasif sekarang jadi eksekutor bahkan jadi martir.

Perempuan ekstremis juga lebih banyak untungnya. Misal; kurang dicurigai aparat keamanan dan beberapa modus lain yang memanfaatkan khas perempuan untuk melancarkan aksinya.

Perlu ditekankan pula, fenomena terorisme yang terjadi di lingkaran keluarga juga ada peran perempuan. Mereka umumnya dekat dengan anak-anak mereka, sehingga dalam banyak kasus ekstremisme, mereka mengajak anak-anaknya untuk ikut andil beraksi, bahkan jadi martir.

Ketiga, dari beberapa hal di atas, kalau memang benar perempuan ekstremis lebih komitmen dari laki-laki tentu akan jadi tantangan tersendiri dalam studi terorisme, termasuk menentukan kebijakan disangegement dan rehabilitasi di masa kini dan selanjutnya.

 

Artikel ini adalah daur ulang tulisan milik Suratno Muchoeri (pernah bekerja sebagai Ketua Tanfidziyah di PCINU Jerman, Jurusan Political Anthropology & Religion (Nue Diskurse zu Staat und Gesellschaft in der Islamischen Welt) di Goethe-universität. Tinggal di Frankfurt am Main)

 

ilustrasi: pixabay.com

 

Komentar

Tulis Komentar