Suporter Sepak Bola : Nasionalisme dan Chauvinisme

Other

by Internship

Suporter sepak bola emang gak ada matinya! Laga kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Indonesia - Malaysia di Stadiun Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta minggu lalu berakhir dengan kemenangan Malaysia dengan Skor 3-2. Pertandingan tersebut telah mengakibatkan kerusuhan. Hal itu disebabkan oleh suporter Indonesia memasuki pinggiran lapangan dan berusaha memasuki area suporter Malaysia. Tak hanya itu, sang suporter pun melempari benda-benda keras. Kekalahan ini dianggap sebagai hal yang memalukan. Terlebih lagi rivalitas Indonesia dengan Malaysia sangat tinggi sejak nenek-kakek lahir.

Pada 2010, Indonesia dengan gemilang berhasil lolos menuju Final Piala AFF 2010. Indonesia melenggang tak terkalahkan dari fase grup sampai semifinal. Lancar Jaya seperti bus AKAP. Perasaan Chauvinisme terhadap timnas Indonesia meningkat di penjuru nusantara pada waktu itu. Terutama ketika musuh yang dihadapi dalam sesi Final adalah Malaysia. Jiwa-jiwa perlawanan bergejolak!

Narasi-narasi Nasionalisme mulai tersebar. Terlebih lagi beberapa tahun sebelumnya terjadi sengketa budaya dan wilayah antara Indonesia – Malaysia. Namun, Indonesia harus menerima kekalahan 3-0 atas Malaysia. Tuduhan serangan laser terhadap Kiper Timnas Nasional Indonesia pun menimbulkan amarah besar. Hari ke hari berkembang narasi anti-Malaysia oleh sebagian besar Indonesia, seperti ganyang Malaysia dan “Malingsia”.

Tapi perlahan pertandingan sepak bola antar negara nampak dijadikan sebagai ajang propaganda atas nama nasionalime. Sepak bola yang seharusnya dijadikan ajang Persahabatan dan sportifitas malah menjadi sebuah persaingan politik negara. Contoh paling nyata adalah rivalitas sepak bola Jepang-China. Ada pun dampak paling parah dari sepak bola yaitu Footbal War. Perang antara  El Savador – Honduras disebabkan persaingan Sepak Bola saat Kualifikasi Piala Dunia tahun 1970. Dalam kasus Indonesia Vs Malaysia, kefanatikan, nasionalisme dan Chauvisme menyusup kedalam sepak bola. Ini dapat menjadikan olahraga menjadi alat propaganda, kebencian dan permusuhan.

Namun bukan berarti sepak bola tidak bisa membawa perdamaian. Pada tahun 1969, perang saudara Nigeria berhenti karena adanya kunjungan Klub Sepak bola Brazil Santos bersama bintang sepak bola Pelé. Kedua belah pihak yang sedang berkonflik setuju untuk melakukan gencatan senjata agar bisa melihat Pelé beraksi di lapangan. Baru-baru ini, Irak yang masih dilanda konflik berkepanjangan justru memenangkan Piala AFC 2018. Sepak Bola membuat mereka sejenak lupa dari konflik.

Jadi sebenarnya sepak bola itu memang dapat membawa perdamaian dan selama tidak masuknya kebencian dan ego kedalam nilai-nilai Sepak Bola. Nilai damai ini diharap sampai hingga suporter sepak bola.

Komentar

Tulis Komentar