Cinta yang Menjerumuskan

Other

by Arif Budi Setyawan

Bagaimana seorang perempuan bisa terekrut oleh kelompok teroris dan sampai bersedia menjadi martir pelaku bom bunuh diri? Seberapa kuat pengaruh doktrin mereka? Atau bagaimana para radikalis itu mendoktrin mereka? Adakah cinta ikut berperan dalam proses terekrutnya mereka itu?


Pertanyaan-pertanyaan di atas pernah ditanyakan kepada saya oleh peserta perempuan dalam sebuah acara workshop. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin mewakili kegalauan dan kekhawatiran banyak pihak tentang fenomena pelaku aksi teror dari kalangan perempuan yang semakin banyak belakangan ini.


Fenomena perempuan yang menjadi bagian aktor aktif aksi teror memang patut dikhawatirkan. Dari sisi strategi serangan, perempuan cenderung lebih tidak mencurigakan sehingga bisa mengurangi kewaspadaan orang-orang di sekitarnya. Yang artinya aksi mereka menjadi semakin berbahaya.


Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan salah satu audiens perempuan di atas dengan mengungkap beberapa kisah buruh migran yang sukses ‘dikibulin’ laki-laki yang menyebut dirinya sebagai jihadis. Dan saya menegaskan kepada mereka bahwa boleh jadi Anda pun bisa menjadi korban jika tidak mengetahui modus yang biasa dimainkan oleh para ‘tukang ngibul’ itu.


Awalnya para buruh migran Indonesia (BMI) perempuan itu adalah orang-orang yang galau dan kesepian jiwanya. Lalu mereka mencoba mengatasinya dengan mencari teman dan menjalin pertemanan di media sosial dengan banyak orang.


Di antara teman di media sosial itu ada yang sering posting kutipan tausiyah, pelajaran agama, dan ada juga yang posting update berita-berita tentang konflik Syiria dari sudut pandang pejuang dari kelompok perlawanan.


Ketertarikan mereka akan update berita konflik Syiria versi kelompok perlawanan membuat mereka kemudian sering bertanya di kolom komentar. Lalu lama-kelamaan karena si penyebar berita tentang konflik Syiria itu juga sering posting kutipan-kutipan pelajaran agama yang dianggap baru oleh para perempuan BMI, hal itu membuat para perempuan BMI itu juga sering mengajukan pertanyaan.


Si penyebar berita dan propaganda yang ternyata merupakan seorang lelaki pendukung ISIS itu lalu melakukan pendekatan lebih intens. Caranya dengan memberikan perhatian dan kesempatan bagi para perempuan BMI itu untuk mengungkapkan keluh kesah dan permasalahan yang mereka hadapi.


Mendapati tempat curhat baru dan pelajaran baru, para perempuan BMI itu kemudian dengan polosnya mengungkapkan masalah di kehidupan mereka. Mulai dari ketidaknyamanan dalam pekerjaan, masalah keluarga, kekosongan jiwa karena miskin ilmu agama, kehidupan yang cenderung membosankan, dst...dst.


Dari curhatan mereka itulah si lelaku pendukung ISIS itu lalu memetakan potensi yang bisa dimanfaatkan dari para perempuan BMI itu. Mereka lalu mulai menawarkan solusi agar hidup mereka jadi lebih berarti. Dan bagi yang diketahui punya masalah keluarga misalnya sudah lama menjanda atau jadi perawan tua, itu akan menjadi target rayuan gombal mereka agar mau diperistri.


Begitu para perempuan BMI itu mulai tertarik untuk berubah menjadi pribadi yang lebih berarti, lebih berharga, dan lebih berguna, si lelaki pendukung ISIS itu lalu mengajak untuk bergabung ke dalam grup diskusi dalam berbagai macam platform media sosial, di mana yang paling populer adalah Telegram.


Dalam grup dan channel-channel Telegram itulah kemudian para perempuan BMI itu merasa mendapat pencerahan di kelompok ISIS/takfiri, merasa tidak sendiri/banyak kawan seperti dirinya, merasa lebih berguna, lebih berarti, dan lebih diakui di kelompok ISIS. Singkat cerita mereka kemudian merasa nyaman berada di kelompok itu.


Pada tahapan selanjutnya mulailah dimasukkan doktrin-doktrin yang diawali dengan menyajikan narasi-narasi yang sangat halus dan melenakan.


Narasi yang dimainkan misalnya;tentang semakin langkanya para lelaki yang mau berjihad (melakukan amaliyah) dan betapa penting peran mereka dalam membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin jika bersedia melakukan amaliyah.


Atau yang sedikit lebih ringan misalnya dalam hal infak berupa harta. Di mana disampaikan bahwa para lelaki cenderung pelit dan lebih mengutamakan keluarganya ketika dimintai dana untuk mendukung amaliyah.


Jika para perempuan BMI itu mau berinfak, maka itu jelas akan membuat para lelaki dan umat Islam yang lebih luas lagi malu dan kemudian jadi bersemangat untuk berinfak.


Intinya dibuatlah seakan-akan peran mereka itu yang berupa infak dan bersedia menjadi pelaku amaliyah itu akan membuat mereka memiliki kedudukan yang istimewa di kelompok itu dan di akhirat kelak.


Dan karena mereka telah jatuh cinta pada kelompok baru yang bisa membuat hidup mereka menjadi lebih berarti dan bahkan bisa membuat mereka menjadi sangat terhormat -di kelompok itu- bila terlibat dalam upaya mendukung perjuangan kelompok itu. Di antara mereka, kemudian ada yang sampai bersedia menjadi pelaku aksi teror.


Namun ketika kemudian tertangkap oleh aparat keamanan sebelum sempat beraksi, yang terjadi kemudian adalah penderitaan. Ya, penderitaan karena cinta yang menjerumuskan.


Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/id/photos/pohon-swing-wanita-gadis-santai-3151608/

Komentar

Tulis Komentar