Kisah Malam Satu Suro

Other

by Eka Setiawan

Malam tadi, Sabtu (31/8/2019) adalah momentum sakral bagi orang Jawa: Malam 1 Suro. Ini juga mirip seperti salah satu judul film horor yang dibintangi almarhumah Suzanna.

Sebenarnya, malam itu juga bertepatan dengan adanya pergantian tahun dalam kalender Islam. Ya, momentum itu juga merupakan malam menuju Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 H yang dimulai hari ini, Minggu (1/9/2019).

Di beberapa tempat digelar berbagai acara untuk menyambutnya. Di Kota Tegal, tepatnya di Perumahan Pondok Martoloyo, digelar arak-arakan yang diikuti para ibu-ibu dan bapak-bapak kumpulan pengajian, para pemuda hingga anak-anak TPQ (Taman Pendidikan Quran).

Mereka menggelar pawai obor, mengibarkan bendera merah putih, bendera TPQ, ada pula yang mengibarkan bendera Nahdlatul Ulama (NU), berpawai berkeliling kampung.

Di Semarang juga ada gelaran serupa. Intinya berpawai. Selanjutnya mereka biasanya makan bareng dengan sajian yang digelar di daun pisang atau wadah lainnya. Intinya guyub rukun.

Ada pula tradisi-tradisi lainnya. Keraton Solo misalnya, biasa menggelar kirab untuk momentum ini.

Mengutip Kompas.com dengan judul "Cerita di Balik Peringatan Malam 1 Suro" yang diakses Minggu (1/9/2019) pukul 04.20 WIB, momentum tahun baru Islam ini memang lekat dengan tradisi Jawa.

Sebab, penetapan 1 Suro sebagai tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, seorang Raja yang memimpin Mataram (Mataram Islam) pada tahun 1613-1645. Sultan Agung mendapat gelar Wali Radja Mataram dari para ulama, sebab jasanya menyebarkan Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.

Sultan Agung pada tahun 1633 Masehi atau tepat pada tahun Jawa 1555, mengadakan pesta atau selametan besar-besaran. Sultan Agung menyatakan Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka berlaku di bumi Mataram. Ditetapkan pula Satu Suro sebagai Tahun Baru Jawa. Keputusan ini diambil setelah dilakukan perpaduan kalender Hijriah dan kalender Jawa.

Sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu dan penanggalan Barat dipadukan. Sultan Agung mengeluarkan pula dekrit, isinya mengganti penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari diganti dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan.

Sejak saat itulah 1 Muharram bertepatan pula dengan 1 Suro. Soal banyaknya cerita mistis yang berkembang hingga tradisi lainnya. Hal itu tentu berkaitan dengan tradisi turun-temurun di tanah Jawa kuno, yang lekat dengan tradisi Hindu.

Maka menjadi wajar saja jika pada peringatan malam itu ada pula tradisi-tradisi yang masih dilakukan. Ada penghormatan-penghormatan tertentu pada tradisi, yang tujuannya tentu saat itu untuk tetap melestarikan budaya, menghindari gesekan.

Penghormatan terhadap tradisi dilakukan agar hidup berdampingan dengan aman dan nyaman di antara perbedaan bisa terus terjalin.

 

 

SUMBER FOTO: DOKUMENTASI TPQ SYUHADA KOTA TEGAL

Kirab Peringatan Malam Tahun Baru Islam 1441 H

Komentar

Tulis Komentar