Perempuan di Pusaran Terorisme

Other

by Febri Ramdani

Tertangkapnya Dian Yulia Novi, calon pengantin alias pelaku bom bunuh diri oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menjadi bukti nyata adanya pergeseran aksi teror di Indonesia.
Kasus itu merupakan contoh adanya peran perempuan dalam pusaran terorisme, yang ketika itu merencanakan menyasar Istana Negara pada 2016 silam.

Perempuan tak hanya jadi pendukung kaum laki-laki, tapi jadi aktor utama terorisme.
Walaupun pada kasus itu, Dian bukanlah aktor tunggal, tapi rekrutan dari jaringan sistematis. Ketidaktahuan dan ketidakberdayaannya dimanfaatkan oleh jaringan di atasnya.
Aksi teror dengan aktor utama perempuan, jika menilik sejarah, sudah pernah terjadi berabad silam. Tepatnya pada tahun 1878, ketika Vera Zasulich menggunakan senapan menembaki Gubernur Jenderal Fedor Trepov, Gubernur St. Petersburg yang ketika itu memperlakukan tahanan politik Rusia secara semena-mena.


Foto Vera Zasulich (Sumber : Wikipedia)

 

Zasulich ditangkap. Kesaksiannya di pengadilan, dia dengan bangga menyebut dirinya teroris: “Saya adalah teroris, bukan pembunuh!,” ungkapnya.
Belakangan, kasus-kasus melibatkan perempuan pada aksi teror juga kembali terjadi. Baik itu meledakkan dirinya ketika dikepung aparat, tempat ibadah, hingga menyasar kantor polisi.
Ini bisa dibilang sudah mulai terjadi transformasi; perempuan sudah berani unjuk gigi, tak lagi di belakang layar. Mereka berani jadi pemeran utama.

Upaya Cegah

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk menjadi pembicara di salah satu kegiatan yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Pembahasan pada kegiatan itu lebih menitikberatkan bagaimana peran perempuan, terutama ibu untuk mencegah terorisme. Itu sesuai tema acaranya “Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme”.
Waktu itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Kendari. Kota yang jumlah penduduknya tak sampai 5 persen dari penduduk Jakarta. Walaupun soal iklim, Kendari tak jauh beda dengan Jakarta, tapi di jalanan masih nyaman, sebab tak macet.

Di depan audiens, saya berbagi kisah hidup ketika sempat berada di Suriah, di wilayah kelompok ISIS, termasuk mengapa saya bisa termakan propaganda mereka. Sebab menyesuaikan tema, saya lebih banyak bercerita tentang perlakukan yang dialami perempuan di wilayah ISIS itu.
Selain saya, ada satu lagi narasumber dari BNPT, yakni Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Dr. Hj. Andi Intang Dulung, M.H.I. Beliau mengatakan para orangtua terutama ibu harus bisa memahami teknologi, sebab banyak sisi negatif dan positifnya.



Mereka harus mengerti bagaimana mengontrol serta membatasi anak-anaknya saat menggunakan internet. Istilahnya jangan gaptek (gagap teknologi).
Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup juga jadi sangat penting, baik akademik mapun agama. Jangan sampai membiarkan anak-anaknya bebas mencari informasi dari internet lalu menelannya mentah-mentah sebab orangtuanya tak bisa memberikan jawaban memuaskan.

Untuk membuat perempuan (para orangtua) mumpuni dalam pengetahuan dan agama, tentu perlu perhatian khusus. Baik dari pemerintah maupun elemen masyarakat. Salah satunya dengan menghapus peraturan daerah ataupun kebijakan yang mendiskreditkan perempuan.

Memberikan ruang kepada perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan akses yang sama terhadap sumber daya, menciptakan narasi-narasi perdamaian dan ajaran Islam moderat secara konsisten serta kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan sebagainya dalam sebuah forum atau ruang diskusi untuk menghasilkan sebuah rencana pencegahan kekerasan ekstrim (PVE).

Komentar

Tulis Komentar