Ketika Orang yang Memutuskan Hubungan Ingin Kembali (Nyambung) Lagi

Other

by Arif Budi Setyawan

Pernahkah Anda mengalami ‘pemutusan sepihak’ oleh kawan, partner kerja, rekan bisnis, atau mungkin malah oleh kekasih atau oleh saudara sendiri ? Jika Anda tidak pernah mengalaminya -dan saya yakin hanya segelintir orang saja di dunia ini yang tidak pernah mengalaminya- setidaknya saya yakin Anda pasti pernah menyaksikan hal seperti itu terjadi pada orang-orang di sekitar Anda.


Tanyakan pada orang yang pernah mengalaminya tentang bagaimana rasanya tiba-tiba diputuskan hubungannya tanpa sebab yang jelas dan pasti. Jika Anda belum pernah mengalaminya, biar saya beritahu bagaimana rasanya, yaitu : SAKIT. Satu kata yang terdiri dari lima huruf saja tapi dampaknya bisa masih terasa hingga beberapa waktu kemudian.


Bagaimana perasaan Anda ketika kita merasa semua berjalan baik-baik saja, tetapi tiba-tiba ada yang memutuskan hubungan dengan kita yang diikuti dengan cacian dan cercaan atas diri kita yang kebanyakan tidak benar, hanya berdasarkan prasangka atau asumsi pribadi orang tersebut ?


Lalu apa yang akan kita lakukan jika orang yang telah memutuskan hubungan itu pada suatu ketika ingin menjalin hubungan lagi dengan kita entah karena alasan ingin menjalin hubungan kembali untuk kebaikan atau keuntungan bersama maupun karena telah menyadari kesalahannya ?


Apakah kita akan menerimanya dan memaafkannya ? Atau menolaknya karena masih sakit hati karena pemutusan sepihak olehnya ?


Kita berhak untuk tetap menolak karena mungkin masih sakit hati. Tapi, apakah itu membawa kebaikan bagi kita dan ketentraman bagi jiwa kita ? Apakah dengan tetap menolaknya bisa mengembalikan kebaikan dunia yang luput dari kita karena pemutusan sepihak itu ?


Apakah tidak sebaiknya dimaafkan dan diterima kembali ? Karena dengan begitu kita akan berpeluang untuk memperoleh kebaikan kembali di masa yang akan datang dari hubungan itu. Daripada tidak mau menerima dan memaafkannya yang justru akan semakin lama menahan rasa yang menyesakkan dada.


Jika kita merasa tidak perlu menerima dan memaafkannya karena telah menemukan para penggantinya atau masih ada banyak yang lebih baik, maka pikirkanlah bagaimana jika kita yang berada di posisi orang itu.


Bagaimana jika yang berada di posisi itu adalah orang tua kita, saudara kandung kita, atau istri/suami/anak kita ? Apakah kita tidak merasa sedih jika permintaan maaf dan upaya menyambung hubungan lagi yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh orang-orang terdekat kita ditolak ?


Inilah yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan sebagian warganya yang sempat bergabung dengan ISIS dan saat ini karena ISIS telah kalah dan berada di pengungsian lalu ingin kembali lagi ke Indonesia.


Pemerintah Indonesia merasa telah menunaikan kewajibannya dalam menjaga dan melayani rakyatnya dengan baik, tiba-tiba ada sekelompok kecil dari warganya yang pergi ke luar negeri dan bergabung dengan kelompok yang menamakan dirinya sebagai Islamic State atau lebih familiar disebut dengan ISIS. Sesampainya di sana mereka melakukan kampanye ajakan untuk bergabung dengan mereka dan mencaci maki pemerintahan Indonesia sebagai thaghut, antek Amerika, aparatnya telah murtad, sistemnya batil dan kafir, sehingga bagi yang mampu bergabung dengan ISIS wajib meninggalkan Indonesia. Bahkan ada yang berani merilis pernyataan tantangan dan ancaman bagi aparat keamanan Indonesia.


Sakit memang ‘diputusin’ kayak gitu, ya nggak ?


Tapi jika misalnya mereka kemudian menyesali kesalahannya dan berjanji akan memperbaiki diri -di mana kriteria memperbaiki diri itu ditetapkan oleh pemerintah- apakah kita masih akan menolaknya dan tidak mau menerima mereka kembali dengan alasan mereka telah menyakiti ‘kita’ dan khawatir akan menebarkan kembali ideologi lama mereka ?


Ataukah menerima mereka kembali dan bersama-sama kita akan merehabilitasi mental dan fisik mereka dengan harapan kelak mereka dan anak-anak mereka akan berkarya untuk bangsa ini ? Karena bisa jadi setelah itu mereka kemudian merasa bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pemaaf, sehingga mereka berterimakasih dan bertekad untuk tidak menyakiti bangsa ini lagi.


Sebenarnya kekhawatiran kita itu adalah asumsi. Sedangkan harapan harus dikedepankan daripada kekhawatiran, meskipun dalam melangkah harus seimbang antara harapan dan kekhawatiran agar semuanya tetap berjalan pada relnya. Berharap akan meraih kebaikan yang dibarengi dengan kekhawatiran akan melenceng menimbulkan sikap berhati-hati agar semuanya berjalan dengan baik. Bukankah begitu ?


Source Image : http://jadiberita.com/wp-content/uploads/2014/12/IMG_20141218_132001.jpg

Komentar

Tulis Komentar