Karena Mudik Bukan Hanya Aktivitas Ragawi

Other

by Eka Setiawan

Apel pengamanan yang digunakan untuk kelancaran arus mudik sudah mulai dipersiapkan dan digelar oleh berbagai instansi. Ada polisi, Badan Pencarian dan Pertolongan, Kerta Api Indonesia, unsur TNI ataupun instansi-instansi lainnya. Agaknya semua punya tujuan yang sama: berlomba-lomba melayani pemudik agar nyaman sampai di kampung halaman.

Di Indonesia, mudik sudah jadi tradisi Ramadan. Kalau sudah dekat-dekat Lebaran, seperti sekarang ini, mudik menjadi semacam ritual sakral yang pantang untuk dilewatkan.

Rela menempuh jarak beratus-ratus kilometer demi kampung halaman. Mau pakai mobil pribadi, angkutan umum, kereta api, kapal atau para pemotor, semuanya ingin pulang kampung.

Bagi para perantau, mudik adalah aktivitas menemukan kebahagiaan. Jadi wajar saja, mereka rela menempuh apa saja; asalkan sampai kampung halaman.

Tapi bagaimana yang tidak punya kampung halaman? Atau yang tidak hidup merantau? Apakah tidak bisa mudik?

Begini, mengutip dari beberapa sumber; mudik bisa juga diartikan ‘mulih ndisik’ itu adalah bahasa Jawa. Artinya kira-kira; pulang dulu.

Pulang tentu saja bisa diartikan sangat luas. Bukan hanya serta-merta aktivitas ragawi pulang ke kampung, namun mudik bisa lebih dari itu. Mudik bisa juga jadi aktivitas rohani.

Membawa hati kita untuk kembali pulang, kembali ke kesucian, kembali ke sesuatu yang fitri. Sesuatu yang suci. Seperti tentu saja makna Idulfitri sendiri.

Itu yang menurut hemat penulis, substansi lebih penting dari aktivitas mudik. Aktivitas untuk kembali ke sesuatu yang suci. Kalau banyak salah, introspeksi diri, kemudian berani untuk meminta maaf. Sama-sama mencoba memperbaiki diri. Itu juga bisa diartikan sebagai mudik.

Kan menjadi tidak lucu kalau raganya mudik, tapi hatinya, tapi rohaninya tidak. Perubahan kepribadian ke arah lebih baik tidak terjadi.

Jadi begini, yang mau mudik ke kampung halaman, hati-hati di jalan. Selamat berkumpul dengan keluarga, teman ataupun nostalgia tempat-tempat masa kecil yang ngangeni.

Yang tidak mudik (secara ragawi), selamat juga untuk bertemu kembali kepada yang suci. Kembali ke ‘masa kecil’, sebuah fase hidup yang tidak ada iri dengki, tidak ada rasa benci.

 

SUMBER GAMBAR: https://bungotoday.com/wp-content/uploads/2018/06/1307-google.jpg

Komentar

Tulis Komentar