Esensi Ramadhan bagi Kaum Begundal

Other

by Kharis Hadirin

Tiap kali Ramadhan tiba, tak sedikit orang yang memanfaatkannya dengan memperbanyak ibadah atau tilawah (membaca Al Qur’an). Masjid-masjid yang biasanya sepi, mendadak penuh oleh para jama’ah. Bahkan bermunculan wajah-wajah baru yang selama ini tak pernah nampak di masjid batang hidungnya.

Tak hanya orangnya saja, namun juga ada berbagai makan dan minuman yang disajikan secara percuma.

Ramadhan, tak ubahnya bulan dimana orang saling berlomba untuk berderma, menjadi yang terbaik diantara manusia. Tanpa terkecuali bagi mereka yang kaya maupun kaum papah.

Barangkali, inilah alasan kenapa Ramadhan disebut-sebut sebagai bulan penuh berkah dari bulan-bulan lainnya. Selain sebagai bulan dimana Al Qur’an diturunkan ke dunia, juga Tuhan melalui titah-Nya tak segan untuk melipatkan gandakan pahala setiap amal yang dilakukan oleh umat manusia.

Itu sebabnya, Ramadhan selalu diidentikkan sebagai bulan penuh kebaikan. Karenanya, berkata jorok dan kasar, serta bertindak sewenang-wenang seperti binatang, menjadi perkara pamali untuk dilakukan.

Tak mengherankan, jika bulan Ramadhan seringkali menjadi ajang bagi para kaum bromocora untuk taubatan nasukhah, sebuah pengakuan dosa yang tak akan pernah mereka lakukan lagi dalam sisa hidupnya.

Jika kita sering mendengar istilah ’pencitraan’ dalam bahasa perpolitikan modern, agaknya kondisi demikian pun banyak terjadi selama Ramadhan berlangsung. Cukup ganjil memang.

Lihat saja, bagaimana orang yang tadinya berperangai hewan mendadak religius. Dunia permusikan yang tadinya hanya gebar-geber (berisik dan tak berisi), jauh dari kesan mendidik dan penuh bahasa cabul, berbondong-bondong membawakan musik bernafas religi.

Tak terkecuali para biduanitanya yang biasa bernyanyi di acara TV yang justru lebih mirip tarian erotis di klub-klub malam daripada sekedar tontonan remaja, tiba-tiba berubah menjadi santun bak seorang santriwati dari pondok pesantren di kampung.

Tempat-tempat hiburan malam lengkap dengan para perempuan penghiburnya yang biasa berserakan dan lalu lalang menawarkan jasa kepada para pria hidung belang pun, mendadak redup dan mati suri.

Setiap mulut yang beredar di jalanan atau gang perkampungan, kata-katanya menjadi santun dan penuh hikmah. Menyejukkan telinga bagi siapa saja yang mendengarnya.

Ironisnya, ‘kedamaian’ yang kita saksikan selama bulan Ramadhan, tiba-tiba saja menguap dan berubah menjadi bau tak sedap seiring pergantian bulan atau berakhirnya musim lebaran.

Pertobatan yang nampak tulus dari bungkusnya (penampilan), rupanya tak lebih dari sekedar topeng belaka. Semua hanyalah pencitraan. Segala sesuatu yang berbau religi, rupanya hanya sekedar musiman belaka.

Karenanya, jika orang-orang yang benar-benar tulus menjadikan Ramadhan sebagai bulan pertobatan. Maka kaum begundal ini tak lebih hanya sekedar menjadikan bulan ini sebagai ajang bisnis semata untuk meraup keuntungan dunia atau hanya teknik pura-pura.

Berkaca dari kasus-kasus seperti ini, kita tak perlu lagi terkesima dan takjub oleh orang-orang yang mendadak ‘alim’ dan kata-katanya bijak bak ahli hikmah selama Ramadhan masih berlangsung.

Seperti halnya para politisi yang sejatinya lebih mirip kaum begundal yang mendadak jadi santun atau para selebriti yang biasa ‘berjualan sampah’ ketimbang manfaatnya.

Lihat bagaimana akhirnya! Akankah Ramadhan ini mendidik kita menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya? Atau justru kita tak lebih dari sekedar kaum begundal yang mendadak ‘alim’ hanya sekedar musiman belaka? Wallahu’alam...

 

Gambar ilustrasi: https://knowyourmeme.com/photos/740963-awkward-moment-seal

Komentar

Tulis Komentar