Masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang toleran. Bangsa Indonesia juga dikenal bangsa yang toleran. Ngomong-ngomong, toleransi itu apa sih?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi itu adalah sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan dan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.
Kata toleran, toleransi, tentunya akrab di ingatan kita ya. Apalagi kalau ingat-ingat zaman SD, SMP, dulu. Kata itu akrab banget di pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kemudian diganti PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), jadi PKN dan sekarang kabar-kabarnya pelajaran PMP mau dihidupkan lagi.
Di pelajaran yang kerap ada di hari Senin, di jam pertama setelah upacara, biasanya Bapak Guru, Ibu Guru, selalu bertanya: “Apa itu toleransi?”
Lalu murid-muridnya dengan sahut-sahutan sembari acungkan jari tinggi-tinggi, biasanya pada menjawab: “Saling menghormati!” , “Saling menghargai”…pokoknya saling-saling yang bikin adem ayem lah.
Sekarang coba, saya yang gantian bertanya. Untuk bisa saling menghormati, saling menghargai, itu bagaimana caranya?
Apakah ujug-ujug kalau sudah tahu arti toleransi, terus tercipta saling menghargai? Apa juga kalau sudah sekolah, dapat ijazah, nilai PMP eh PPKn eh PKn-nya 100, terus orang jadi toleran? Itu relatif ya (untuk menghindari diksi: tidak juga, hehehe)
Kalau tak pikir-pikir sambil ngopi, toleran itu kan kata sifat ya. Kayak yang dituliskan di KBBI tadi. Kalau kata sifat, hemat saya, artinya melekat pada masing-masing individu.
Sekali lagi, melekat pada masing-masing individu ya. Kayak kenangan yang melekat kuat sampai-sampai orang nggak bisa move on lalu merasa jadi orang paling tersakiti seantero galaksi Bima Sakti.
Nah, berhubung toleran itu melekat di masing-masing individu, artinya apa? ya artinya toleransi itu satu arah.
Ya betul, satu arah, sobat…kalau mau toleran, ya toleran saja, nggak usah maksa orang lain toleran juga kepada kita.
Kalau ada cangkeman di grup wasap ya toleran, kalau ada orang makan nasi padang gorengane pitulikur di samping orang yang lagi puasa ya toleran saja yang lagi puasa, nggak terus minta yang makan itu menyingkir jauh-jauh. Kalau ada speaker musala yang keras-keras suaranya, pengajian minggu pagi yang keras suaranya sampai mengganggu lazy day kita, ya toleran saja. Kalau ada baliho caleg yang fotonya diedit jadi tanpa jerawat serta senyum janji manisnya yang khas terpampang di jalan-jalan dan bikin jengkel ya kita toleran saja, kalau ada orang foto sama asu, ya toleran saja, mbok rapopo kan terserah mereka.
Kalau belum bisa legowo ya silakan menggerutu, tapi dalam hati saja yaaa…biar nggak adu keras suaranya.
Terus kalau ada orang yang suka teriak – teriak ayo toleransi! ayo jadi orang toleran! tapi maksa-maksa orang lain buat toleran, buat menghargai kita, terus itu namanya apa? ya itu namanya mekso, dan itu tidak toleran loh. Lha wong mekso–mekso orang lain supaya manut pikiran kita.
Nabi Muhammad SAW ketika awal-awal berdakwah (dari guru ngaji dan orang tua yang sering cerita waktu saya masih kecil), sering mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang lain yang berseberangan. Dilempar batu, disakiti, dihina, diolok-olok, tapi Beliau tetap saja baik sama mereka. Ini kan toleran yang sesungguhnya bukan.
Nah, sekarang kembali ke masyarakat toleran tadi. Terus caranya bagaimana biar bisa jadi masyarakat yang toleran?
Mungkin begini saja ya, masyarakat kan kumpulan individu-individu, entitas tertentu yang mendiami wilayah tertentu. Jadi, toleransi dalam hidup bermasyarakat, mungkin bisa tercipta kalau individu-individunya bisa toleran sendiri.