
Anak-anak dari berbagai latar belakang kepercayaan belajar tentang budaya Tionghoa di Kelenteng Tay Kak Sie, Kota Semarang. Foto diambil pada 11 September 2018
Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata Cina?
Bisa jadi yang terlintas; komunis, orangnya paling banyak di muka bumi, serbuan tenaga kerja asing masuk negeri kita, Uighur, barongsai, angpao, atau bisa jadi toko sembako grosiran.
Hemat saya, itu hanya sebagian kecil saja yang terlintas akan Cina.
Sebab, beberapa yang disebutkan di awal hanya sebagian kecil saja. Kalau secara pribadi ya, Cina itu negeri paling terkenal seantero jagad. (entah itu Cina Republik Rakyat Tiongkok, Cina Taipei, Hong Kong ataupun Macau).
Sebabnya, Cina begitu tersohor. Sebut saja mulai dari aneka kisah, bangunan, tradisi, makanan, sampai binatang (dari yang lucu, jago berkelahi sampai yang lucu sekaligus jago berkelahi). Hadist Nabi Muhammad yang terkenal pun menyebut Cina: Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina. (walaupun ini masih perdebatan sahih tidaknya, tapi minial jadi bukti betapa tersohornya negeri Tirai Bambu itu)
Mari kita absen lagi satu-satu betapa Cina sangat populer; Gengis Khan, Shao Lin, Tembok Besar Cina, Cap Go Meh, Kue Keranjang, Panda sampai Kung Fu Panda, hingga Kera Sakti (kalau ada yang mau nambahin silakan).
Dari beberapa yang sudah disebutkan tadi, bisa jadi itu adalah konsumsi sehari-hari kita. Kita yang bukan Cina atau mungkin bukan Cina.
Konsumsi tidak sebatas pada kebendaaan saja, memakai simbol-simbol juga laku konsumsi, sebagaimana para pemikir postmodern mengemukakan.
Kita adalah apa yang kita pikirkan, apa yang kita pakai, apa yang kita makan, apa yang kita nyanyikan, apa yang kita tonton, apa yang kita ucapkan.
Kita mengonsumsi semua itu dalam rangka sebuah identitas. Pencarian atas keakuan, lalu dikontestasikan dalam ruang-ruang publik, entah itu dunia nyata ataupun dunia maya.
Orang-orang borjuis, misalnya, tak akan bangga ketika Adidas yang mereka pakai adalah barang KW.
Misalnya; ketika pakai barang ori (popular orang menyebut bukan buatan Cina-yang dari beberapa kasus itu jadi salah kaprah), orang-orang akan lebih pede memakainya, dibiarkan sebanyak mungkin orang melihat, demi sebuah identitas: aku mampu beli barang mahal atau aku adalah orang kaya.
Beda kasus kalau Adidas yang dipakai itu, kalau misalnya di Semarang, dibeli di Pasar Johar yang harganya seratusribuan itupun masih ditawar sak njengkinge demi sebuah identitas “Adidas”.
Entah itu identitas ori maupun KW tadi. Hahaha, yang penting three stripes! Selain dikontestasikan, identitas juga bisa dimanipulasi hingga dinegosiasikan hehehe.
Pun ketika mengonsumsi Xiaomi. Yang sepintas mirip iPhone dari bentuk, tapi harganya bagai bumi dan langit.
Lewat simbol-simbol yang kita konsumsi itu, mau tak mau, kita adalah ‘bagian’ dari mereka, pun ketika kita mengkonsumsi apapun tentang Cina. Baik benda maupun non-benda.
Jadi, tak usahlah teriak-teriak Anti-Cina, kalau ternyatapun kita masih “bagian” dari mereka. Apalagi postingnya di medsos pakai Xiaomi atau sejenisnya hehehe.
Kalau hidup berdampingan, berbaur (yang tak mesti harus melebur) lalu tercipta saling menghormati dalam keberagaman, pastilah hidup lebih selow, ora cepet keno stroke.
Buat saudara tua, Selamat Tahun Baru, Selamat Imlek…