Santri Tak Sekadar Sarungan

Other

by Eka Setiawan

Hampir seribu anak-anak tampak gembira malam itu. Berbagai nasyid, salawat diiringi musik rebana membuat semuanya bersemangat. Hawa dingin malam itu ditemani rintik hujan sirna dengan semangat mereka.

Beberapa terlihat mengibarkan bendera berbagai ukuran, mulai dari bendera Merah - Putih, bendera Nahdlatul Ulama (NU) maupun pesantren tempat mereka menimba ilmu. Semuanya tampak indah. Malam itu, Minggu (21/10/2018) jelang pukul 21.00 WIB di Pondok Pesantren Al Mubaarok, Manggisan, Kabupaten Wonosobo, dihelat kegiatan tasyakuran Hari Santri Nasional (HSN).

Di Indonesia, HSN baru-baru saja diperingati. Ini setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Momentum itu kemudian diperingati dengan gembira. Tentu saja lebih khusus oleh para santri. Peringatan itu juga jadi semacam penegas: santri punya peran besar di bangsa ini.

Kalau menilik sejarahnya, penetapan tanggal 22 Oktober jadi HSN itu adalah ketika arek-arek Suroboyo di bawah komando Bung Tomo tergerak hatinya untuk rela mengorbankan jiwa raga mempertahankan kemerdekaan.

Jadi begini, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dilakukan pada 17 Agustus 1945 tak lantas membuat bangsa asing penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia. Terbukti ketika Oktober 1945 itu, salah satunya Bung Tomo mendengar ada upaya dari tentara NICA dan Inggris hendak masuk ke Indonesia melalui Surabaya.

Menyikapi hal itu, pada 21 - 22 Oktober 1945 diadakan pertemuan di Kantor NU Surabaya. Esok harinya, yakni 22 Oktober 1945 dikeluarkan ‘Resolusi Jihad’ oleh K.H. Hasyim As’yari. Diserukan kepada pemerintah dan umat Islam tentang wajibnya membela negara dari serangan musuh.

Akhirnya ketika pasukan NICA dan Inggris masuk Surabaya, para santri sudah menyambutnya dengan persiapan perang. Alhasil, pertempuran besar terjadi. Bermodalkan bambu runcing dan senjata seadanya, mereka perang mati-matian melawan tentara asing yang datang tak diundang. Pertempuran ini panjang, Jenderal Mallaby si jenderal Inggris, tewas.

Ini juga memicu pertempuran lebih besar, yang pada akhirnya dikenal pertempuran 10 November Surabaya. Kita kenal sekarang sebagai Hari Pahlawan. Jadi tak heran ketika pertempuran besar itu diteriakkan Allahu Akbar! Karena pada dasarnya itu adalah berjihad. Berjihad membela negara dari serangan musuh.

Semangat menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh para santri alias kaum sarungan tak perlu diragukan lagi. Semangat itu terus menular sampai sekarang. Tak lekang oleh zaman.

Semangat itu pula yang terlihat di peringatan HSN 2018 ini. Salah satunya yang terlihat di Pondok Pesantren Al Mubaarok Manggisan, Kabupaten Wonosobo itu.

Pengasuh ponpes setempat, Nur Hidayatullah, menyebut HSN itu punya makna yang besar bagi santri atau pesantren.

“Adanya peringatan Hari Santri Nasional sampai adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini bukan perjuangan yang mudah, ini perjuangan yang sangat sulit,” kata Kyai Nur.

Mudir ponpes setempat, Nurul Mubin, mengatakan di ponpes Al Mubaarok itu juga sudah punya pendidikan setingkat perguruan tinggi, yakni Mahad Ali Al Mubaarok.

“Jenjangnya S1 (Strata 1), gelarnya pada tahun 2021 nanti Sarjana Agama,” tambahnya

Pendidikan bagi santri sangat penting. Jadi tak hanya jadi ulama. Santri ini harus punya kontribusi besar bagi bangsa. Mereka dididik sejak dini untuk jadi calon negarawan, ulama sekaligus politisi yang handal.

Selamat Hari Santri Nasional!

 

 

FOTO EKA SETIAWAN

Para santriwati di Pondok Pesantren Al Mubaarok, Manggisan, Kabupaten Wonosobo, merayakan tasyakuran Hari Santri Nasional yang digelar di ponpes setempat, Minggu (21/10/2018) malam.

 

 

Komentar

Tulis Komentar