Mengabdi di Perlintasan Kereta Api

Other

by Eka Setiawan

Sugeng,43, sesekali melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya ketika mengobrol dengan saya, Selasa (14/8/2018) pagi di antara rel ganda perlintasan Kampung Cilosari, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Saya duduk di sebelahnya agak miring. Sebab, tempat duduknya berupa cor-coran beton yang bentuknya tidak datar.

Saya tanya; “Pak, kereta berikutnya lewat jam berapa?,”

Sugeng cepat menjawab: “Berikutnya jam 07.10, jalurnya yang ini,” jawabnya sembari menunjuk rel yang dimaksud.

Sembari lanjut mengobrol, saya iseng-iseng meliriik arloji yang saya pakai. Sebentar lagi pukul 07.10 WIB.

Dan ternyata betul. Di waktu yang Sugeng katakan, terdengar klakson kereta api dari kejauhan. Sugeng yang pagi itu berbaju biru, celana pendek warna krem dan telanjang kaki, bergegas berdiri. Meniup peluit yang terkalung di lehernya.

Dia segera memberi aba-aba untuk berhenti bagi pengendara maupun pejalan kaki yang hendak melintasi rel kereta. Kereta melaju kencang.

Beberapa di antara pengendara maupun pejalan kaki yang akan menyeberang rel terlihat masih ragu-ragu tengok kanan kiri, ketika kereta sudah melintas. Mungkin takut masih ada kereta berikutnya, sebab di situ adalah rel ganda.

Sugeng terus memberi aba-aba, pertanda jalur sudah aman. Semuanya melintas, baik yang jalan kaki, bersepeda, naik becak motor, bersepeda motor ataupun mobil.

Tak ada celaka di perlintasan itu.

Selepas ‘tugasnya’ itu, Sugeng kembali duduk di samping saya.

“Wah Pak, kok bisa tepat ya, tahu jadwal keretanya yang melintas jam berapa saja?,” tanya saya.

Lha wis cekelane (lha sudah kesehariannya). Nek sing (kalau yang) melintas ganda (dua jalur dilewati kereta api berbarengan), tadi pagi sudah, jam 06.30,” jawabnya yang mengaku belum berkeluaga.

Sugeng tampaknya suka ngobrol, dia bercerita kepada saya ngalor ngidul. Tempatnya sama, di antara jalur ganda rel kereta api itu.

Sugeng tinggal di Kampung Cilosari, RT4/RW7, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semaranng. Dia mengaku ‘bekerja’ dari pukul 05.30 – 08.30 WIB. Kemudian pulang. Sore harinya berangkat lagi ke tempat duduk yang sama, ‘bekerja’ mulai jam 16.00 – 20.30 WIB. Itu dilakoni rutin tiap hari, katanya sudah hampir 20 tahunan menjalani.

Sugeng mengaku tak bekerja untuk PT. KAI. Apa yang dilakukannya murni ingin mengabdi.

“Ya nggak ada yang menggaji. Saya kepingin mengamankan orang sekolah, orang mau berangkat kerja, bepergian,” kata Sugeng.

Suatu waktu, dia bercerita pernah ditawari temannya bekerja jadi kuli bangunan. Sugeng mengajukan pertanyaan: apa jam 3 sore sudah pulang? Dijawablah oleh rekannya, kalau tidak bisa. Pulangnya sampai malam.

Sugeng langsung menolak. Sebab, dia khawatir kalau nanti tidak ada yang menjaga di perlintasan kereta itu. Takut ada yang celaka karena tak ada yang gantian menjaga perlintasan kereta api tanpa palang pintu di sana.

Aku ngamanke cah sekolah, terus sing podo kerjo pabrik (aku mengamankan anak sekolah, lalu yang kerja di pabrik). Mosok cah sekolah ketabrak sepur, engko masa depane nggak ono. Nek cah sekolah kan mesake, jangka waktunya iseh ombo, suk mben dadi dewasa. (Masa anak sekolah tertabrak kereta api, nanti masa depannya nggak ada. Kalau anak sekolah kan kasihan, jangka waktunya masih panjang, nanti jadi dewasa),” beber Sugeng menguatkan argumennya ingin tetap mengabdi di perlintasan itu.

Sugeng bercerita, suatu waktu ada yang menggantikan tugasnya. Tapi malah terjadi celaka. Di tahun lalu, dikatakan ada 3 orang yang meregang nyawa karena celaka di perlintasan kereta api.

Lha jogo malah ditinggal istirahat golek wedang neng warung. Kudune wedange sing digowo mrene. (Lha, jaga malah ditinggal istirahat cari minum di warung. Harusnya minumnya yang dibawa ke sini),” tambahnya.

Sugeng bercerita, saat menjaga selalu tertib waktu. Dia ingin membantu semuanya yang hendak melintas rel, aman. Sekali lagi, meski tak digaji Sugeng tetap menjalani.

Beberapa orang yang melintas di situ terlihat akrab dengan Sugeng. Menyapa. Entah itu mengundang nama ataupun membunyikan klakson sambil melihat Sugeng. Semuanya terlihat tersenyum.

Ada di antara mereka yang terlihat sengaja datang, memberikan seplastik kue, jajanan pasar. Ada pula yang memberikan uang. Karena buru-buru melintas, orang itu melemparkannya ke Sugeng. Saya lihat, itu satu lembar uang lima ribuan.

“Sering dikasih sama orang-orang lewat,” kata Sugeng.

 

 

FOTO-FOTO EKA SETIAWAN

Sugeng menjaga perlintasan sebidang kereta api di perlintasan Cilosari, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Foto diambil Selasa (14/8/2018).

 

Komentar

Tulis Komentar