KAUMAN SEMARANG: Jejak Pusat Pemerintahan dan Kota Tradisional Muslim

Other

by Eka Setiawan

 

Jika berkunjung ke Semarang, tak ada salahnya mampir ke Kawasan Johar Semarang. Di sana, ada sebuah jalan tak terlalu lebar nan ramai, di sisi selatan Masjid Agung Semarang.

Di jalan itulah, kanan kirinya dikenal dengan Kampung Kauman. Sehari-harinya, lokasi itu ramai orang berdagang. Dari berdagang aneka produk tekstil, parfum, jualan buku-buku agama Islam ataupun perlengkapan ibadah.

Adanya Kampung Kauman di dekat masjid agung adalah salah satu ciri dari pola tata ruang kota-kota tradisional di Jawa. Pada pusat kota terdapat kompleks pemerintahan yang mengelilingi alun-alun. Di sekitar alun-alun terdapat masjid, yang di sekitarnya terdapat kampung, yakni Kauman.

Sejarawan Universitas Diponegoro, Titiek Suliyati, pada paparannya tentang Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang, menyebut kota-kota besar yang dibentuk sebagai kota Islam di Jawa, selalu memiliki Kampung Kauman.

“Dengan ciri-cirinya sendiri, tak terkecuali di Kota Semarang,” ujarnya dalam sebuah seminar yang pernah saya ikuti di Semarang.

Sebagai kampung tradisional, Kauman didiami oleh penduduk pribumi yang terbentuk pada masa pemerintahan Ki Ageng Pandan Arang. Kampung ini memiliki sejarah yang unik, yakni dikaitkan dengan keberadaan Masjid Kauman.

Masjid ini, walaupun termasuk masjid tua di Semarang, namun bukan yang pertama dibangun oleh Ki Ageng Pandan Arang, di Kota Semarang. Awalnya, Ki Ageng Pandang Arang bermukim di Bukit Bergota sebelum pindah ke wilayah Semarang bawah, yang sekarang dikenal sebagai wilayah Pedamaran. Lokasi ini masih di Kawasan Johar.

Di sinilah, dibangun sebuah masjid lengkap dengan permukiman para santrinya, dikenal dengan sebutan Kemesjidan. Ketika beliau diangkat sebagai Bupati Semarang, pusat pemerintahan dibangun di daerah Kanjengan. Ketika terjadi pemberontakan etnis Cina pada 1740, permukiman Cina yang terletak di daerah Pekojan, masjid dan permukiman santri di Pedamaran, musnah terbakar.

Hal ini menyebabkan munculnya permukiman Cina yang baru, sekarang dikenal Pecinan. Selain itu, pada 1741, Bupati Suromengolo membangun dan memindahkan Masjid Pedamaran ke lokasi baru, yakni sekitar Kanjengan.

Inilah yang kini dikenal sebagai Masjid Kauman. Lokasi sekitaran masjid yang jadi permukiman inilah yang akhirnya dikenal sebagai wilayah Kauman.

Kampung-Kampung Kecil

Ada beberapa penafsiran yang berbeda terkait dengan nama Kauman. Ada yang berpendapat Kauman beraal dari kata nggone wong kaum (tempat para kaum), pakauman (tempat tinggal para kaum), kaum sing aman (golongan atau kaum yang aman), atau ada yang menafsirkan qo’um muddin (pemuka agama Islam).

Dari tafsiran-tafsiran itu, Kauman bisa diartikan sebagai tempat tinggal para ulama.

Di Semarang, Kampung Kauman sendiri terdiri dari kampung-kampung kecil. Seperti; Bangunharjo, Patehan, Kepatihan, Book, Jonegaran, Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompo, Krendo, Masjid, Kemplongan, Pungkuran, Suromenggalan dan Kadipaten.

Nama-nama kampung ini menunjukkan keadaan setempat, sifat dari kampung tersebut, dan jenis aktifitas masyarakatnya, misalnya Kampung Patehan dikenal sebagai kampung tempat warganya memproduksi teh, Kampung Kepatihan dikenal sebagai kampung tempat tinggal patih, Book berarti tembok, yaitu kampung yang terdapat tembok, Kampung Glondong yakni kampung yang dipakai sebagai tempat penampungan kayu-kayu glondong.

Lebih lanjut, adalah Kampung Butulan, asal kata butul (tembus) karena jalan di kampung tersebut adalah jalan buntu. Kampung Pompo artinya adalah kampung pompa air, karena terdapat pompa air. Kampung Krendo (keranda), bahwa di kampung tersebut sebagai tempat menyimpan keranda.

Dinamika Kampung Kauman dapat dilihat dari perubahan fungsi bangunan, lahan, serta aktifitas masyarakatnya, pada awal pembentukannya, Kampung Kauman sebagian besar dihuni oleh penduduk pribumi.

Pada perkembangannya, penghuni Kampung Kauman, terdiri dari berbagai etnis, dari Jawa, Cina, Arab, hingga Melayu, aktifitas penduduknya pun sekarang tidak hanya untuk keperluan keagamaan, melainkan juga bisnis.

Adanya Kauman ini juga jadi salah satu jejak bahwa lokasi itu pernah jadi pusat pemerintahan Semarang. Konsep tata ruangnya mirip dengan pusat pemerintahan kota-kota tradisional di Jawa. Di dekat alun-alun, ada kantor pemerintahan, penjara, masjid agung dan kauman di sekitarnya.  Namun, kini alun-alun Semarang sudah hilang. Di sana kini sudah jadi pusat keramaian aktivitas perdagangan.

Olivier Johannes Raap dalam Kota di Jawa Tempo Doeloe (2015:2), menyebutkan sebuah kota di Pulau Jawa akan memiliki jaringan jalan yang mengikuti pola grid pattern, berupa jalan-jalan pararel dengan orientasi barat-tumur, dan jalan dengan orientasi utara-selatan, jikalau tidak mengalami gangguan geografis. Jalan menjadi blok-blok yang berbentuk kotak. Salah satu dari blok tersebut merupakan alun-alun.

Pada dasarnya, kiblat alun-alun mengarah ke utara, mengikuti aksis utara-selatan. Namun, terkadang aksis diputar disesuaikan keadaan geografis setempat. Misalnya, di Yogyakarta aksis diputar tujuh derajat karena menggunakan orientasi puncak Gunung Merapi, atau Purworejo aksis diputar 37 derajat karena keberadaan sebuah sungai yang sulit dipindahkan.

Terkadang, alun-alun dipindahkan ke lokasi baru karena alasan politik (Bandung) atau alasan alami (Blitar). Di beberapa kota, alun-alun sudah hilang dan dipenuhi bangunan (Semarang, Surabaya).

 

 

 

FOTO EKA SETIAWAN

Salah satu sudut gang di Kampung Kauman Semarang.

 

Komentar

Tulis Komentar