Dinamika Internal Narapidana Terorisme di Rutan Mako Brimob

Other

by Eka Setiawan

 

Oleh: Noor Huda Ismail

 

Kejadian rusuh dan teror yang mencekam di Rutan Mako Brimob ( RMB ) beberapa hari terakhir ini menyisakan beberapa pertanyaan. Bagaimana kerusuhan yang berujung pada penyanderaan dan pembunuhan 5 anggota POLRI bisa terjadi di sebuah rutan yang khusus diperuntukkan bagi tahanan teroris sebelum mereka selesai menjalani masa penyidikan dan persidangannya yang konon memiliki pengamanan ketat ? Bagaimana berita kerusuhan itu begitu cepat menyebar di media sosial sehingga dalam waktu singkat kantor berita ISIS Pusat merilis berita aksi itu yang dilengkapi dengan foto-foto dan video langsung dari TKP?

Penulis akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas berdasarkan wawancara langsung dengan narapidana teroris yang pernah ditahan di RMB dan narapidana teroris  pendukung ISIS di dalam RMB ini. Penting penulis tekankan di sini bahwa tidak semua yang di RMB itu adalah pendukung ISIS. Namun, ironisnya, karena minimnya kapasitas, mereka ini harus dicampur bersama dengan para pendukung ISIS. Sehingga, seringkali mereka merasa terintimidasi dan tidak kuasa melawan dominasi para pendukung ISIS yang cenderung sangat tidak kooperatif dengan kelompok lain.

Untuk sementara, penulis menyimpulkan bahwa para pendukung ISIS itu mayoritas terekrut melalui media sosial. Ini berarti tahapan menjadi radikal mereka itu instan. Barangkali, karena singkatnya proses radikalisasi juha menunjukkan jalan pikiran mereka yang relatif sempit. Oleh karena itu, mereka cenderung memikirkan kepentingan diri mereka sendiri. Paling banter, mereka memikirkan kepentingan kelompoknya. Nyaris tidak tersisa untuk memikirkan orang lain kecuali orang lain itu juga menguntungkan dirinya atau kelompoknya.  Mereka merasa bahwa mereka adalah para “ghuroba”, istilah bahasa Arab yang muncul dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang berarti “kaum yang terasing”.

Jika mayoritas dari 155 penghuni RMB mempunyai pola pemikiran seperti itu, lalu ditambah kondisi rutan yang over kapasitas, maka sebuah gesekan kecil antara tahanan dan petugas bisa dengan mudah menimbulkan masalah besar. Jangankan dengan ucapan verbal dan tindakan fisik, membaca postingan di media sosial saja mereka bisa terprovokasi. Aspek inilah seharusnya yang mejadi perhatian lebih aparat yang berwenang.

Seperti yang telah disampaikan oleh Kapolri, Jenderal Polisi Prof Dr Tito Karnavian, over kapasitas diyakini menjadi salah satu sebab utama meledaknya aksi teror di RMB itu. Secara logika sederhana saja, jika satu sel yang seharusnya diisi 4-5 orang kemudian diisi 10 orang, maka energi yang bisa meledak akan semakin besar. Teralis besi yang jika hanya 4-5 orang tidak bisa jebol. Namun bila 10 orang yang menjebol tentu kemungkinan jebolnya sangat besar.

Orang-orang berpikiran sempit dalam jumlah mayoritas dan kondisi terkurung dalam ruangan yang sempit dengan aturan-aturan keamanan yang ketat, termasuk soal pemeriksaan badan para istri mereka ketika hendak besuk yang selalu mereka keluhkan, prosedur memasukkan makanan dari luar, seringnya penyelidikan kamar mendadak untuk mencari barang-barang terlarang dan seterusnya membuat mereka frustasi. Apalagi menurut mereka, aparat itu adalah ‘taghut’ atau musuh abadi mereka.

Menurut penuturan salah satu alumni RMB yang sekarang menjadi bagian dari pendampingan Yayasan Prasasti Perdamaian menuturkan bahwa dahulu di masanya, memang seringkali dengan alasan kemanusiaan para petugas itu memberikan kelonggaran soal titipan makanan dari luar. Tetapi itu pun tidak selalu bisa dilakukan oleh mereka. Untuk itu ia bisa memakluminya. “ Paling-paling  kami hanya teriak gedor pintu sel ketika air ngadat, itu  pun jarang terjadi. Nah, para penghuni RMB saat ini sepertinya tidak bisa memaklumi hal itu. Dan mereka sangat pede untuk protes dan mengintimidasi petugas karena merasa jumlah mereka besar” jelasnya.

Di masa dia ditahan, meskipun jumlah mereka waktu itu juga banyak tetapi mereka terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda-beda. Sehingga ketika ada yang mencoba memprovokasi untuk aksi protes yang lebih keras banyak pihak yang meredam untuk kepentingan bersama. Mereka sadar kondisi mereka lemah. “Bayangkan, semua logistik seperti air, makanan, dan listrik ada dalam kekuasaan petugas. Kalau kami membuat masalah terus petugas membatasi pasokan logistik itu bagaimana coba?” jelasnnya. “Dalam tahanan ini pada hakikatnya kami sedang mengikat perjanjian damai dengan petugas, di mana dalam Islam sangat menjunjung tinggi perjanjian damai dengan siapa pun” ia menambahkan.

Berdasarkan paparan di atas, peristiwa rusuh di RMB itu terjadi selain karena lemahnya manajemen penjara dan juga provokasi segelintir orang yang memprotes perlakuan aparat sehingga menyulut reaksi spontan dari para tahanan yang lain. Meskipun jauh sebelum peristiwa ini terjadi, sudah sangatlah ramai diskusi di berbagai platform media sosial para pendukung ISIS akan rencana dan keinginan mereka menyerang para petugas keamanan. Masih ingat bagaimana melalui YouTube, Abu Jandal secara arogan menantang panglima TNI untuk duel senjata langsung di Siria dan berjanji membebaskan para tentara daulah (julukan bagi para pendukung ISIS) yang di penjara?

Lalu, mengapa berita kerusuhan itu begitu cepat menyebar di media sosial ? Dan bahkan dengan cepat kantor berita ISIS merilis berita itu dan mengklaim itu dilakukan oleh para anggotanya yang ditahan di penjara Indonesia.

Sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya, mayoritas para tahanan teroris di RMB adalah para pendukung ISIS yang terekrut atau direkrut melalui media sosial. Mereka terpengaruh oleh propaganda yang dibuat oleh ISIS dan disebarkan oleh para pendukungnya. Propaganda itu selalunya berisi tentang aksi –yang menurut mereka- heroik para anggota ISIS di berbagai penjuru dunia. Hal ini menyebabkan mereka juga sangat ingin bisa meniru aksi-aksi heroik itu, sehingga ketika mereka bisa sedikit beraksi saja, mereka akan dengan cepat berfoto dan merekam aksi mereka lalu menyebarkan rekaman itu ke media sosial. Mereka pada dasarnya ingin “eksis”, ingin punya prestasi seperti para pendukung ISIS di luar negeri. Mereka ini nggak jauh beda dengan anak muda zaman now yang suka “eksis”, bedanya ngeksisnya berupa aksi radikal.

Tanpa bermaksud merendahkan citra aparat keamanan dan semangat untuk memperbaiki kondisi membuat penulis mengungkapkan hal ini: Adanya smartphone yang dimiliki para tahanan menunjukkan adanya celah di lingkaran pengamanan dan pelayanan dalam rutan. Artinya ada oknum yang ‘menjual jasa’ dalam pengadaan alat komunikasi. Mau diakui atau tidak, buktinya mereka bisa punya smartphone. Biarpun sering dilakukan sidak, tetap saja nanti akan ada lagi. Oleh karena itu, agar peristiwa tragis di RMB ini tidak terulang kembali, negara harus melakukan evaluasi kinerja aparat dengan semangat perbaikan, bukan untuk saling menjatuhkan karena musuh kita sesungguhnya adalah para teroris yang sekarang telah bergerak secara bebas melalui komunikasi media sosial. Ini masalah serius ditengah-tengah persiapan kita menjadi tuan rumah olahraga internasional, ASIAN GAMES. Jangan hanya karena manajemen penjara yang buruk, citra bangsa dipertaruhkan. Wallahua’alam.

 

 

 

 

 

sumber foto: https://patronnews.co.id/2018/05/napi-terorisme-mengamuk-di-rutan-mako-brimob/

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar