Perkumpulan Boen Hian Tong Gelar Ritual Rujak Pare Peringati Tragedi Mei 98

News

by Eka Setiawan

Perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma) menggelar peringatan Tragedi Mei 1998. Tragedi ini adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jakarta. Acara peringatan digelar di gedung mereka Jl. Gang Pinggir, Kawasan Pecinan, Kota Semarang, Minggu 21 Mei 2023.

Peserta yang datang puluhan orang, baik dari etnis Tionghoa, akademisi, ustaz pesantren, para aktivis di antaranya dari LRC-KJHAM, Gerakan Pria Peduli Perempuan dan Anak (Garpu Perak), Ein Institue, Komnas Perempuan termasuk para mahasiswa. Pada acara yang dimulai sekira pukul 10.00 WIB itu, tepatnya di gelar di depan Sinci Ita Martadinata, aktivis 98 yang jadi korban kerusuhan rasial itu.

[caption id="attachment_15496" align="alignnone" width="1600"] Para peserta dan panitia berfoto bersama selepas acara peringatan[/caption]

Para peserta memakai pita hitam yang dilingkarkan di tangan kiri, sembahyang membakar dupa di depan gedung. Perwakilan peserta kemudian masuk ruang sembahyang yang ada Sinci Ita Martadinata termasuk Sinci K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Presiden ke-4 Indonesia. Di sana diletakkan bunga melati

“Kami berterimakasih kepada semua yang hadir. Kedatangan di sini jadi sebuah pertanda makin banyak yang peduli. Perjuangan untuk mengingat dan menjaga agar peristiwa Mei 98 tak terulang,” kata Ketua Panitia Jose Amadeus Krisna (24) di sana.

[caption id="attachment_15493" align="alignnone" width="1600"] Makan bersama[/caption]

Pada kegiatan itu disajikan makanan khas peringatan, yakni rujak pare sambal kecombrang. Semua yang hadir dipersilakan menyantapnya. Itu adalah sajian simbol peristiwa itu.

Pare yang rasanya pahit dan sambal yang pedas, melambangkan bagaimana pahitnya para korban tragedi itu hingga membuat menangis traumatis. Kecombrang adalah simbol perempuan Tionghoa.

“Tragedi ini pernah terjadi dan jangan sampai terjadi lagi,” lanjut Jose Krisna, yang merupakan keturunan Tionghoa yang mahir mendalang.

Makanan-makanan lain juga disajikan. Jajanan khas bernama gandos, kemudian nasi bunga telang ada lauk empal, telur, sambal goreng ati hingga tempe goreng. Ini juga simbolisasi beragamnya suku maupun etnis di Indonesia namun bisa hidup harmonis. Bercampur jadi satu sajian yang enak tanpa kehilangan identitas masing-masing.

Pada kegiatan itu, diadakan sesi testimonial dari korban kekerasan dalam rumah tangga hingga keluarga korban Bom Bali. Acara juga diramaikan peluncuran buku Estungkara Kecombrang.

Ketua Perkumpulan Boen Hian Tong, Harjanto Halim, mengemukakan korban tragedi Mei 1998 masih mengalami traumatis berat meskipun sudah 25 tahun berlalu.

“Saya hanya mencoba mendorong, memotivasi untuk berani bicara. Saya tidak bisa salahkan korban yang tidak mau bersuara,” kata dia.

[caption id="attachment_15494" align="alignnone" width="1600"] Ketua Perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Harjanto Halim[/caption]

Harjanto Halim bercerita ada kawannya yang bertemu langsung perempuan Tionghoa korban tragedi tersebut. Dia harus mendapatkan perawatan khusus terkait kondisi psikologisnya.

“Setiap dibesuk laki-laki, dia langsung ambil sikat gigi kemudian gosok gigi sampai berdarah, katanya untuk membersihkan (luka). Setraumatis itu. Diperkosa ramai-ramai (ketika tragedi). Banyak juga yang mau bunuh diri,” ceritanya.

Sebab itulah, acara peringatan semacam ini, Harjanto Halim lebih mencoba untuk memberikan pemahaman bagaimana hidup harmonis saling menghormati itu sangat indah. Bukan untuk sekadar mengenang dan larut dalam kesedihan.

Mi Goreng di Sinci Ita

Di Sinci Ita Martadinata terlihat sesaji berisi nasi goreng dan mi goreng. Diletakkan di piring. Ita adalah korban pemerkosaan tragedi Mei 98. Di usia 18 tahun dia berani bersaksi dan siap berangkat ke PBB untuk memberikan kesaksian. Namun, tiba-tiba dia dibunuh dengan modus perampokan.

[caption id="attachment_15495" align="alignnone" width="1600"] Jose Amadeus Krisna (Ketua Panitia) di ruang sembahyang di mana diletakkan Sinci Ita Martadinata hingga Sinci Gus Dur[/caption]

Di Gedung Rasa Dharma yang dibangun sejak 1876 itu, Sinci Ita Martadinata sudah terpasang sejak 3 tahun lalu. Warnanya putih bertuliskan emas, diletakkan tepat di sebelah Sinci Gus Dur.

“Sinci ini sebagai bentuk penghormatan, bukan pemujaan. Mi goreng dan nasi goreng ini kesukaan dia (Ita), kami sempat telepon mamanya. Bagi kami, itu kayak foto bapak ibumu, ada sesuatu, bukan pemujaan tapi sebagai bonding,” tandas Harjanto Halim.

 

Komentar

Tulis Komentar