Menggali Cerita Keluarga Napiter

Analisa

by Administrator

Oleh: Lies Marcoes (Peneliti)
Ruangobrol.id telah menyajikan dua tulisan dari pasangan suami istri yang menggambarkan suasana batin mereka sebagai keluarga mantan narapidana terorisme (napiter) yakni Hadi Masykur dan Titik Djuwariyah.
Tulisan ini mencoba membaca dari sudut pandang peneliti yang kebetulan diperkenalkan Noor Huda Ismail dengan mereka. Saat itu saya sedang menyelesaikan penelitian tentang perempuan dan radikalisme. Saya ingin melihat bagaimana pasangan (istri atau suami) yang pasangannya dituduh terlibat aksi terorisme mengelola ruang batinnya.
Kami bertemu saat acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 di Jepara. Salah satu tema yang dibahas pada acara itu adalah perempuan dan radikalisme. Saya meminta izin berkenalan dengan keluarganya.
Hadi Masykur adalah mantan sekretaris amir gerakan Neo Jamaah Islamiyah (JI), Para Wijayanto. Di ruangobrol.id, Hadi Masykur menceritakan tentang pergolakan, tepatnya perjuangan batinnya ketika memilih berhenti dari gerakan itu setelah ia keluar dari penjara.
Salah satu yang menjadi pertimbangannya adalah karena ia melihat perjuangan ibu dan istrinya dalam menjaga keseimbangan dan keutuhan keluarga ketika Mas Hadi di penjara. Sementara Mbak Titik Djuwariyah bercerita detik-detik ketika suaminya dibawa pergi.
Mas Hadi menuliskan, sejak ikut mengaktifkan kembali JI di bawah pimpinan Para Wijayanto, dia sangat sadar hidupnya akan penuh risiko, sebab dia ada di “kancah perjuangan”. Tapi keluarganya, tidak pernah bertanya-tanya. Bahkan sejak menikah dan memulai aktif dalam jaringan JI, dia telah meminta istrinya untuk “tak bertanya-tanya”.
Sementara ibunya, karena anaknya lulusan pesantren, dapat memaklumi anaknya jarang di rumah sebab sedang berdakwah atau mengurus pesantren.
Semula, Hadi menyangka dengan cara itu bukan hanya dapat meminimalisir kebocoran rahasia gerakan, juga sekaligus bisa mengisolasi aksinya sebagai perjuangan kelompoknya tanpa melibatkan keluarga.
Bahkan sejak menikah dengan tidak menceritakan secara terbuka apa yang sedang ia perjuangkan, ia merasa dapat melindungi keluarganya. Namun, ketika ditangkap, ia melihat bagaimana istri, ibu dan anak-anaknya terdampak luar biasa. Ia melihat bagaimana mereka saling mendukung untuk menjalani kehidupan senormal mungkin.
Subyek penelitian radikalisme biasanya terfokus kepada pelakunya. Keluarga, sering kali dilihat sebagai lampiran. Saya merasa cara pandang seperti itu mengamputasi sistem ekologi yang memungkinkan gerakan radikal itu berkembang. Tentu sejumlah penelitian telah mendalami soal sistem jaringan, kekerabatan dan daya dukung. Namun, sangat jarang penelitian yang mengamati sebagai satu kesatuan.
Ketika Mas Hadi memperbolehkan saya bertemu dengan berbicara dengan Mbak Titik (yang juga kemudian menulis pengalamannya dalam ruangobrol.id ini) metode yang saya gunakan adalah mendengar suara kedua pihak terutama pihak Mbak Titik. Sebab cerita tentang Mas Hadi sudah cukup banyak. Cerita Mas Hadi saya butuhkan untuk cross check informasi dari Mbak Titik
Cara yang saya lakukan adalah menelusuri cerita dengan model river flow dari mana ia berangkat, bagaimana ia tumbuh dan berkembang, apa angan-angannya, dan momen-momen apa yang menurutnya dianggap penting dalam hidupnya.
Hal serupa juga saya lakukan kepada Mas Hadi. Melalui cara itu saya bisa melihat berjumpaan-perjumpaan di antara dua orang ini dan di mana mereka memiliki titik temu atau titik pisah.
Untuk menggali hal-hal yang sangat pribadi, menurut saya penelitian tak mungkin maksimal jika penelitian diperlakukan sebagai wawancara formal. Karenanya yang saya dan tim peneliti lakukan adalah ngobrol dengan izin direkam audio visual.
Untuk ngobrol saya sendiri harus menyiapkan mental. Hal yang paling utama adalah bersikap jujur. Saya juga harus membuka diri atas prasangka yang saya punya tentang mereka sebagai bagian dari sebuah gerakan radikal. Saya juga harus terbuka tentang apapun yang menjadi dasar keyakinan mereka seperti tentang perempuan, anak perempuan, keluarga, serta hal-hal yang dianggap prinsip dalam perjuangan JI.  Saya berusaha menyiapkan diri untuk memahami tanpa harus selalu bersetuju atau menerima pandangannya.
Pertama saya putuskan ini adalah penelitian bukan sekadar wawancara untuk mengambil data. Artinya saya juga terlibat, melakukan pengamatan dan karenanya saya tinggal beberapa hari bersama mereka.
Pagi itu, setelah urusan rumah tangga selesai dengan pergi ke pasar bersama Mbak Titik, dan Mas Hadi telah pergi mengantar ibunya ke kantin, kami (saya dan peneliti lain Ani Susanti) tinggal di rumah. Saya dengan sangat sengaja minjam baju daster Mbak Titik. Setelah ganti baju saya merasa sangat nyaman dan seketika secara psikologis tumbuh perasaan telah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ini momentum sangat penting dalam sebuah penelitian.
Lalu kami ngobrol sambil ngedeprok di lantai. Saya bentangkan kertas kado yang di balik sehingga bagian dalamnya yang putih bisa jadi bentangan “papan tulis”. Saya sediakan 3 warna spidol, hitam untuk menulis, ungu memberi penekanan apa yang dianggap membahagiakan, dan merah sebagai momentum menyulitkan.
Di satu titik ketika bercerita, suara Mbak Titik bergetar tercekat. Ia mengusap air matanya. Itu terjadi di momen-momen ketika ia harus menanggung sendiri kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian dan merasa tidak ada yang bisa diajak bicara. Atau ketika ia dalam kehamilan dengan penyulit tapi ia tahu suaminya tak mungkin dapat ia kontak karena sedang “di lapangan” konflik.  Di saat itulah saya mendekati untuk memeluknya. Saya ingin Mbak Titik percaya saya mendengarkannya. Tangis Titik pecah. Ia mengatakan baru kali ini ia bisa bicara dan merasa suaranya didengar (…)
 
 

Komentar

Tulis Komentar