Risiko Istri “Jihadis Ikrar NKRI”

Analisa

by Administrator

oleh: Erna Virnia

Siang itu, udara sangat terik. Maklum, lokasinya di pinggiran pantura. Angin musim panas berhembus kencang, tak hanya menyebabkan hawa panas, tapi juga membuat barang-barang ringan di sekitarku nyaris terbang terbawa angin.

Di depan kami, piring-piring plastik tempat kudapan makan yang sudah kosong turut berhamburan terhembus angin yang bertiup lumayan kencang.

Siang itu, saya dan beberapa mantan narapidana terorisme (napiter) termasuk istri-istri mereka sedang “ngumpul”. Kami mengobrol apa saja. Di antara kami juga ada warga setempat yang ikut menyajikan makanan dan minuman.

Obrolan kami siang itu tentang bagaimana kehidupan Ummu S (nama samaran) paska-suaminya bebas penjara karena terjerat terorisme. Dia bercerita, awal kenal dengan seorang pria yang akhirnya jadi suaminya itu karena mereka berasal dari desa yang sama. Pada beberapa kesempatan mereka sering bertemu.

Lambat laun hubungan mereka berlanjut, bahkan saat S memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di negeri orang alias Pekerja Migran Indonesia (PMI). S mengaku saat masih pacaran, sebelum mereka menikah, suaminya sudah bergabung dalam sebuah partai politik berbasis agama.

Itu pula yang membuat S jadi ikut bergabung dengan apa yang dipilih kekasihnya saat itu. Di dalamnya ada kajian grup akhwat. Kajian-kajian di dalamnya cukup frontal ketika mengkritisi pemerintahan.

Berangkat dari situ pula akhirnya lambat laun tercipta doktrinasi. Pada perjalanannya mereka akhirnya menikah. Setelah itu pula, tingkat radikalnya mulai naik kelas. Suaminya bergabung ke kelompok JAD, kelompok teror lokal yang berafiliasi dengan ISIS. Ini juga yang akhirnya membuat suaminya ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri.

Saat Suami ditahan

Setelah penangkapan, otomatis S hidup tanpa suami. Dia juga masih bergabung ke sebuah grup WA yang anggotanya adalah istri-istri “jihadis” dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahasan dalam grup tersebut seputar kajian-kajian dan tak jarang juga ada yang membahas jika ada suami mereka juga tersandung kasus terorisme. Ada pula obrolan yang menanyakan kondisi keluarganya.

Pada perjalanannya, sang suami akhirnya memilih untuk kooperatif ketika di dalam penahanan, ikrar NKRI, salah satunya. Suaminya juga akan bebas bersyarat. Informasi itu ternyata tersebar pula di antara mereka, grup WA para istri itu.

Mulai dari situ, S ini sering mendapat sindiran-sindiran di grup WA yang dia ikuti itu. Sindiran itu sangat-sangat melukai hatinya, namun berkat nasihat sang suami, melalui komunikasi yang dijalinnya dengan menggunakan fasilitas Lapas, S menjadi lebih santai menanggapi sindiran miring yang ditujukan kepadanya.

“Ya kalau saya lama-lama jadi gak peduli dengan sindiran yang bertubi-tubi itu, dan saya juga jujur kepada mereka di grup, kalau suami saya sudah NKRI. Karena yang saya pikirkan adalah saya harus patuh kepada suami, kedua setelah suami saya bebas kehidupan itu kami yang menjalani bukan mereka,” ungkap S.

Namun demikian, S juga bercerita di grup itu ada istri yang tidak mau berterus terang kalau suaminya juga ikrar NKRI saat di tahanan.

“Padahal jelas-jelas suaminya bentar lagi bebas, padahal sesuai tuntutanan harusnya dia masih lama bebasnya, berarti kan suaminya bebas bersyarat ya Mbak? Kadang lucu aja sih kalau ada yang seperti itu,” jelas S.

Masih dengan suasana santai, kami masih asik ngobrol, aku mencoba menanggapi.

“Emang apa sih yang membuat para istri yang suaminya sudah ikrar NKRI gak mau mengaku di grupnya?,” tanya saya.

S kembali menjelaskan “Banyak Mbak, ya salah satunya nanti para istri ini akan diacuhkan, terus sering disindir-sindir kaya saya Mbak, dan kadang ada yang sampai dikeluarkan dari grup,” jawab S.

Menurut S, sampai dikeluarkan di grup jadi gengsi tersendiri bagi para istri itu. Sebab, grup WA itu jadi salah satu tempat ternyaman di antara mereka untuk berbagai kisah.

“Seperti saat suami dipenjara, jadi dari teman-teman ini lah yang bisa menerima dan mendukung kami, baik dukungan moral dan juga materi kalau memang kami benar-benar membutuhkan,” terang S.

S juga mengaku awal-awal sulit memang untuk bisa langsung lepas dari grup jaringan yang telah lama diikutinya, karena walaupun hanya berkomunikasi melalui online ternyata ikatan batin dan kekeluargaan di antara mereka benar-benar dapat dirasakan. Apalagi saat merasa tengah sendiri, sedih dan tidak ada yang peduli lagi dengan kehidupan kita.

Namun kini, semua itu tinggal kenangan, walaupun masih ada beberapa grup yang diikutinya dan dia memilih untuk pasif di grup. S memilih untuk tetap mendampingi suaminya pasca-bebas dan melanjutkan kehidupan jauh dari bayang-bayang jaringan. Mereka kini membuka usaha kuliner. Memanfaatkan media sosial dan kemampuan IT suaminya untuk mengembangkannya.

“Kalau sekarang sih saya lebih fokus kepada keluarga aja Mbak, sudah cukup lah dengan ditangkapnya suamiku dulu. Untuk teman-teman di grup kan emang ada yang rumahnya dekat, ya kadang saya datangi mengajak istri ikhwan-ikhwan yang mempunyai nasib sama dengan saya untuk mendukung, kadang ya kami ditolak, tapi para suami ini yang terus meminta kami untuk melakukan pendekatan kepada istrinya yang sebentar lagi suaminya akan bebas,” pungkasnya.

 

*Tulisan ini dari wawancara dengan mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang jadi istri pelaku terorisme

Komentar

Tulis Komentar