Ini Tantangan Penanganan Terorisme di Indonesia Versi PAKAR

News

by Akhmad Kusairi

Program deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan (lapas) kepada narapidana terorisme masih menjadi tantangan tersendiri. Hal ini mencuat, salah satunya setelah adanya penangkapan tersangka terorisme Agus Wijayanto di Sleman, DIY.


Tersangka adalah residivis kasus penyalahgunaan narkotika, sempat mendekam di lapas di Nusakambangan. Densus 88 Antiteror/Polri menyebut Agus Wijayanto teradikalisasi saat menjalani hukuman di lapas untuk kasus narkotika itu.  


Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Moh. Adhe Bhakti menduga tersangka ini teradikalisasi melalui trio mujahid pelaku pembunuhan terhadap pendeta yang dianggap menghujat Islam.


“Trio mujahid itu divonis (dijerat) dengan KUHP biasa, pasal pembunuhan, bukan Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme,” ungkapnya saat kegiatan diskusi yang diselenggarakan SeRVE Indonesia bersama P3M, ruangobrol.id dan PAKAR, Jumat (3/2/2023).


Dijeratnya dengan pidana umum membuat trio mujahid itu mendapatkan penanganan seperti narapidana umum lainnya.


“Trio mujahid tidak dijerat dengan UU Pemberantasan Terorisme merupakan kesalahan penegak hukum,” lanjutnya.  


Adhe juga mengatakan persoalan over kapasitas hunian di lapas maupun rumah tahanan negara (rutan) juga menjadi tantangan tersendiri.  


“Misalnya ada narapidana terorisme (napiter) yang tidak atau terlambat dieksekusi ke lapas hingga dia mau bebas. Sehingga karena tidak dieksekusi ke lapas, maka sang napiter tidak mendapatkan haknya sebagai warga binaan. Selain itu masalah lainnya. Belum ada porgram khusus penanganan bagi napiter perempuan,” imbuhnya

Tantangan berikutnya lanjut Adhe adalah masih eksisnya kelompok radikal seperti ISIS di dunia maya. Meskipun secara wilayah ISIS sudah tidak punya, akan tetapi secara kepemimpinan mereka masih aktif. Sebagai contoh Juru Bicara ISIS yang baru Syaikh Abu Umar al Muhajir menyerukan agar membunuh “musuh-musuh Allah”.


Maka setelah seruan itu terjadilah bom bunuh diri Markas Polsek Astananyar Bandung pada 7 Desember 2022. Pelakunya juga seorang residivis kasus terorisme, bernama Agus Sujatno. Pelaku tewas di lokasi kejadian.

“Apakah Agus Sujatno membaca dan mengetahui seruan ini masih perlu dibuktikan lagi. Sementara di belahan dunia lain juga terjadi. Misalnya di New York seorang yang diidentifikasi sebagai pengikut (kelompok radikal) melukai 3 orang polisi. Di Paris juga terjadi hal yang sama, yaitu penusukan massal,” jelas pria kelahiran Riau tersebut.


(baca juga: Pelaku Bom Bunuh Diri Polsek Astana Anyar Bandung Eks Narapidana Terorisme)

Tantangan selanjutnya adalah bertranformasinya kelompok teror di Indonesia terutama Jamaah Islamiyah (JI). Menurut Densus, JI saat ini memiliki sekira enam ribu pengikut. Hingga sekarang mereka merekrut pengikut baru dari lulusan terbaik pondok pesantren.

“Mereka punya lembaga amal yang semuanya anggota JI seperti HASI. Tapi mereka juga punya lembaga amal yang hanya pemimpinnya saja anggota JI seperti Syam Organizer. Mereka juga punya lembaga amal resmi dan terdaftar yang pempunyai ribuan kotak amal seperti Yayasan Abdurrahman bin Auf. Mereka juga punya perkebunan kelapa sawit dan hotel. Bahkan JI juga merestui kadernya terlibat dalam partai politik seperti Ustaz Farid Okbah,” imbuhnya.

Dalam diskusi yang dihadiri perwakilan dari CSO tersebut Adhe meminta agar mulai memerhatikan Sumatra dalam program yang dilakukan. Pasalnya dalam tiga tahun terakhir, jumlah penangkapan di sana selalu tinggi. Bahkan pada tahun 2022 jumlah penangkapan tersangka teroris di Sumatra mengalahkan jumlah penangkapan di Jawa.

“Sebagai perbandingan, tahun 2020 penangkapan di Sumatra 32 kasus sedangkan di Jawa 92 orang. Di tahun 2021 penangkapan di Sumatra mengalami peningkapan drastis berada di angka 79 kasus sedangkan di Jawa 96 kasus. Dan peningkatan kembali terjadi di tahun 2022 di bahkan mengalahkan penangkapan di Jawa. Di Sumatra 95 kasus di Jawa 85 kasus,” imbuh Adhe

Selain itu Adhe juga meminta kepada Pemerintah untuk memerhatikan ancaman dari enam ribuan anggota JI. Adhe juga menghargai anggota JI yang sudah mau mencabut baiat dan ikrar NKRI.

"Namun lanjutnya belum ada penelitian lebih lanjut soal program ini. Apakah efektif atau tidak,” pungkasnya.








 

Komentar

Tulis Komentar