Tantangan Pelibatan Masyarakat dalam Pencegahan Terorisme (3-Habis)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Kami di Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) selama ini telah melakukan berbagai upaya dalam rangka membantu memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat mengenai persoalan terorisme. Karena tanpa adanya pemahaman yang cukup di isu terorisme ini, mustahil masyarakat akan mau dan peduli pada penanganan terorisme.

Menurut saya sebagai mantan pengikut kelompok radikal dan pegiat edukasi masyarakat terkait isu radikalisme-terorisme, setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilakukan untuk sampai pada pelibatan masyarakat dalam pencegahan terorisme.

Pertama adalah edukasi. Masyarakat harus mendapatkan edukasi tentang bahaya radikalisme-terorisme. Edukasi ini bisa dimulai dari menyadarkan bahwa ancaman radikalisme-terorisme itu nyata adanya melalui penuturan mantan teroris yang telah insyaf atau kami menyebutnya dengan credible voices.

Peran credible voices menjadi sangat berharga karena penuturan dari credible voices akan menjadi bukti tak terbantahkan akan adanya gerakan radikal-ekstrem yang mengarah pada terorisme. Para credible voices juga dapat menceritakan bagaimana proses mereka menjadi teroris, ketika berada di dalam kelompok teroris dan bagaimana akhirnya ia meninggalkan kelompoknya itu.

Sehingga masyarakat memahami bahwa setiap orang apabila mengalami kondisi dan berada pada lingkungan seperti yang dialami oleh credible voices, bisa jadi akan terekrut oleh kelompok radikal-ekstrem yang mengarah pada terorisme. Juga memahami bagaimana cara membantu mantan teroris agar bisa sepenuhmya meninggalkan kelompok lamanya.

Lalu dilanjutkan dengan menjelaskan penyebab utama meningkatnya ancaman radikalisme-terorisme adalah berawal dari ketidakpedulian masyarakat pada fenomena yang terjadi di sekitarnya. Misalnya pada fenomena belajar agama hanya dari internet, tanpa keterlibatan guru yang kredibel di dunia nyata.

Kemudian dilanjutkan lagi dengan memahamkan masyarakat tentang potensi ancaman dari penggunaan internet, khususnya media sosial yang bisa mempersatukan orang-orang dengan pemikiran yang sama tanpa bisa terdeteksi dari pengamatan langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Jika yang berkumpul adalah orang-orang dengan pemikiran yang positif itu malah akan semakin bagus. Namun bila yang berkumpul adalah orang-orang dengan pemikiran negatif tentu akan menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

(Kisah Mulyono Ketua RT di Semarang Terima Mantan Napiter Jadi Warganya)

Tahapan kedua adalah engagement atau keterlibatan. Setelah mendapatkan edukasi yang melahirkan kesadaran bersama, selanjutnya yang harus dilakukan adalah mulai melibatkan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme-terorisme. Bagaimana cara melibatkan mereka?

Misalnya dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, pembinaan, dan pendampingan kepada mantan narapidana teroris (napiter) beserta keluarganya. Juga menganjurkan agar semua orangtua lebih memperhatikan aktivitas dan perilaku anak-anak mereka. Karena penyimpangan perilaku dan pemahaman seringkali lahir dari ketidakpedulian orang-orang di sekitarnya.

Tahapan ketiga adalah ownership atau kepemilikan bersama atas persoalan radikalisme-terorisme. Edukasi yang melahirkan kesadaran dan keterlibatan itu kemudian diharapkan memunculkan rasa tanggungjawab bersama bahwa persoalan radikalisme-terorisme ini harus diselesaikan bersama-sama. Harus diselesaikan dengan saling berkolaborasi dan bersinergi antar sesama komponen bangsa. Tidak bisa bila hanya dibebankan pada beberapa pihak saja.

Tanpa adanya ownership akan persoalan radikalisme-terorisme di masyarakat, pencegahan terorisme akan sangat berat. Karena pencegahan terorisme memerlukan energi besar dan waktu yang panjang.

Bagaimana Melakukannya?

Tiga hal di atas adalah teori atau gambaran ideal tahapan pelibatan masyarakat dalam pencegahan radikalisme-terorisme. Lalu bagaimana kita memulainya?

KPP dua tahun lalu telah menyelesaikan sebuah program percontohan di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. KPP melakukan edukasi kepada masyarakat di tingkat desa/kelurahan, lalu melibatkan mereka dalam penanganan mantan napiter dan keluarganya di lingkungan mereka.

(baca juga: Mengenal Tim “Tali Hijau” dari Pegalangan Kidul)

Kami membagi program menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan memberikan knowledge yang berarti juga edukasi. Lalu memberikan skill yang berarti membuat mereka terlibat aktif, dan terakhir memberikan understanding, yaitu membuat mereka sampai pada tahapan ownership.

Selama setahun program berjalan banyak perubahan positif yang terjadi. Salah satu yang paling membanggakan kami adalah setelah program selesai, ada salah satu kelompok masyarakat yang kemudian aktif menyebarkan pengalaman dan pengetahuan yang mereka dapatkan bersama kami ke desa-desa di sekitarnya yang memiliki warga mantan napiter. Ini merupakan bukti telah tercapainya ownership di kelompok masyarakat itu.

Memang masih dalam skala kecil, tapi setidaknya kami telah membuktikan bahwa bila masyarakat itu mendapatkan edukasi dan bimbingan yang tepat, mereka bisa berperan aktif dalam penanggulangan radikalisme-terorisme di wilayahnya.

 

Komentar

Tulis Komentar