Gagal Deradikalisasi?     

Analisa

by Administrator

Oleh: Dr. Amir Mahmud

(Direktur Amir Mahmud Center)

 

Peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan pelaku Agus Sujatno di Markas Polsek Astana Anyar, Bandung, Rabu 7 Desember 2022 mengejutkan masyarakat. Tak sedikit kritik pedas tertuju pada penanganan dan pencegahan yang sering disebut dengan deradikalisasi.

Di antaranya; anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Santoso yang menilai program deradikalisasi para narapidana terorisme (napiter) oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kurang tepat. Mengingat pelaku bom bunuh diri itu adalah mantan napiter yang sudah terkena hukuman empat tahun di Nusakambangan.

Soal mantan napiter yang pernah menjalani hukuman penjara kemudian kambuh atau aktif lagi melakukan kegiatan terorismenya, di antaranya; M. Shibghotulloh, pernah ditangkap tahun 2012 kasus Pelatihan Militer Jalin Jantho Aceh ditangkap di Kalimantan setelah DPO 1 tahun, kembali ditangkap, yang merupakan jaringan JAD.

Lalu, Abu Rusydan tokoh Jamaah Islamiyah (JI) yang ditangkap Densus 88 pada September 2021 sebagai Penasihat JI, juga bukan kali pertama. Dia pernah ditangkap pada tahun 2002 silam dan dipenjara 3 tahun, bahkan pernah mengikuti program deradikalisasi.

Sebagaimana dijelaskan Undang-Undang, deradikalisasi dilaksanakan pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT didampingi kementerian/lembaga terkait. Deradikalisasi pada ayat (2) disampaikan secara bertahap melalui 4 tahapan, yakni: tahap identifikasi dan penilaian sebagai tahap mengumpulkan data dan identitas. Tahap kedua adalah rehabilitasi yaikni tahap pemulihan baik mindset, psikologis dan psikis.

Tahap ketiga adalah reedukasi yaitu mendidik ulang mengenai pemahaman kebangsaan, toleransi dan agama. Tahap terakhir yaitu reintegrasi sosial.

Tahapan ini juga diimplementasikan Densus 88/Antiteror Polri dengan 3 strategi penanganannya, yaitu; pencegahan, penegakkan hukum dan deradikalisasi. Meskipun demikian, belum cukup jika pada aspek pencegahan, peran serta masyarakat tidak dilibatkan.

Pada kasus bom bunuh diri Agus Sujatno belum bisa dijadikan alat penilaian sebuah kegagalan deradikalisasi atau kecolongan. Mungkin lebih tepatnya dapat dikatakan gagalnya personel mantan napiter sebagai agen perubahan. Mengingat aksinya di luar dugaan dari upaya deradikalisasi.

Terorisme dalam karakteristiknya adalah sebuah organisasi yang melakukan penyebaran ideologi, rekrutmen, memiliki keahlian, pendanaan dan jaringan secara global. Ancaman terhadap keamanan tidak lagi dipersepsikan hanya datang dari luar negeri, tetapi dapat datang dari dalam negeri.

Bentuk ancaman yang datang dari dalam negeri dapat berbentuk pemberontakan, aksi teror seperti bom bunuh diri, bencana alam, kemiskinan dan sebagainya. Karena itu, keamanan nasional yang bersifat komprehensif akan memberi implikasi, di mana keamanan tidak lagi bisa ditangani secara sendiri-sendiri, karena sudah menjadi keamanan bersama (common security) artinya keterlibatan stakeholder dan masyarakat harus ada sampai pada tingkat kelurahan atau desa.

Jika melihat deradikalisasi mantan napiter, paling tidak ada beberapa kategori yang kerap menjadi kendala, di antaranya;

  1. Ada mantan napiter yang sama sekali tidak pernah hadir (lepas pembinaan) meskipun tidak lagi bergabung dengan kelompok lamanya.

  2. Di sisi lain, mantan napiter juga masih berdiri dua kaki, yakni hadir pembinaan namun juga aktif di kelompok lamanya. Pada keadaan ini, mereka lebih cenderung menyelamatkan dirinya dari pantauan keamanan. Kriteria ini yang disebut sikap taqiyah atau kamuflase. Pada tahapan ini seyogianya melibatkan intelijen keamanan.


Sebenarnya, cara penanganan deradikalisasi di Indonesia telah menjadi perhatian besar sekaligus rujukan edukasi beberapa negara. Ini melihat keberhasilan program penanganan khusus terhadap mantan napiter dari pemerintah dan aparat keamanan yang digulirkan mereka untuk menciptakan pemulihan psikologis, sosial dan pemberdayaan ekonomi untuk kemandirian secara baik di tengah masyarakat.

Meskipun penghalang besar beberapa kalangan seperti politisi sering membuat provokasi atas penangkapan sejumlah teroris oleh Densus 88 dengan melontarkan kata-kata Islamophobia, anti-Islam. Begitupun di antara ormas Islam dengan membuat pernyataan bahwa penangkapan sejumlah teroris dianggap sebagai rekayasa dan pengalihan isu.

Ketika terjadi seperti itu, konteks penanganan pencegahan, deradikalisasi tidak bisa sepenuhnya berjalan secara baik. Ini jadi peluang besar serta pembenaran para pelaku aksi teror atas kejahatan kemanusiaannya.

Masyarakat harus dapat memberikan penilaian secara objektif dan komprehensif terlebih pada kasus bom bunuh diri. Masyarakat jangan mudah memberikan statemen yang negatif dengan label gagal atau kecolongan, apalagi didahului rasa sentimen terhadap penanganan deradikalisasi yang jadi otoritas BNPT dan Densus 88 tanpa melihat kinerja dan fakta di lapangan.

Meskipun kiranya sudah ada pembahasan di DPR tentang pencegahan terorisme yang otoritasnya diberikan kepada Densus 88 sejatinya segera untuk ditindaklanjuti. Sehingga upaya pencegahan dini dalam aspek hukum terpenuhi.

Indonesia juga bisa melihat penanganan terorisme di Malaysia pada konteks pencegahan dini. Misalnya; ketika ada yang mencurigakan, baik berupa simbol-simbol ataupun tempat dan kegiatan berkumpul, maka aparat keamanan dapat menindak dengan tegas.

Komentar

Tulis Komentar