Wartoyo Undercover (2): Disebut Teroris Saya Enggak Marah

Interview

by Abdul Mughis

Medio 2006-2009 silam. Ketika itu, Wartoyo aktif membesuk terpidana teroris yang menjalani hukuman di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tidak ada tujuan lain selain menjaga solidaritas sesama mukmin.

Sesama teman mukmin itu bersaudara. Jangan enak-enak di rumah. Ayolah besuk di penjara,” katanya dalam kesempatan ngobrol bersama tim ruangobrol.id, beberapa waktu lalu.


Wartoyo bersama rekan-rekannya sepakat mengumpulkan uang untuk membesuk sejumlah teman yang telah menjalani hukuman di penjara. Mulai dari menjenguk terpidana kasus Bom Bali 1, kasus Aceh, dan lain-lain.

“Termasuk menjenguk Ustaz Abu Bakar Ba'asyir, Ustaz Aman Abdurrahman dan lain-lain,” katanya.

Saat aktivitas menjenguk narapidana teroris di penjara inilah, Wartoyo mendapat sentilan dari teman-temannya. Ia merasa terketuk secara emosional atas berbagai narasi yang diungkapkan oleh sejumlah kawan seperjuangan. Bahwa perjalanan panjang hingga mendekam di penjara ini menjadi risiko perjuangan membela agama Allah SWT.

“Kalian enak, makan tidur bersama anak istri di rumah. Seorang lelaki yang memiliki harga diri, mengapa tidak bisa berbuat sesuatu untuk membela saudara sesama muslim?” kata Wartoyo menirukan ucapan temannya.

Dia sendiri merasa selama ini belum bisa berbuat apa-apa terhadap saudara sesama mukmin. Singkat cerita, akhirnya, sebanyak tujuh orang termasuk Wartoyo sepakat untuk segera merencanakan aksi teror. Masing-masing; Santhanam, Jumarto, Umar, Paimin, Budi Supriadi dan Ali Miftah. Rencana itu diawali dengan dibentuk majelis halaqah terlebih dahulu. Rapat dilakukan di sebuah rumah kontrakan.

“Ustaz Anam dipilih sebagai orang paling depan, karena dia adalah seorang ahli IT (informasi teknologi). Sedangkan saya sendiri mendapat tugas membuat senjata rakitan. Karena memang keahlian saya otak-atik senjata apa saja,” katanya.

Dalam rapat tersebut, mereka sepakat memilih aksi menyebarkan racun sianida dengan target sasaran anggota kepolisian pada pertengahan 2011 silam. Target aksi mereka yaitu kantor Polsek, Polres, dan Polda di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah.

“Kesalahan saya waktu itu tidak berpikir panjang. Padahal biasanya kalau saya mau berbuat sesuatu itu selalu melewati proses pemikiran matang. Kali ini tanpa pertimbangan. Saya asal ngomong aja, saya ikut. Bahkan istri saya tidak mengetahui,” katanya.

Namun sebelum aksi tersebut berhasil dilaksanakan, kelompok ini rupanya telah diintai oleh Densus 88. Mereka ditangkap pada 10 Juni 2011 di wilayah hukum Polsek Kemayoran Jakpus.

Wartoyo menceritakan kisah sebelum ditangkap. Tujuh orang pelaku teror tersebut memiliki latar belakang profesi berbeda-beda. Ada yang bekerja sebagai penjual Bakmi, sales obat herbal, mekanik, dan lain-lain. “Tapi semuanya punya hobi mancing. Jadi, pertemuan koordinasi (rencana aksi teror) sering dilakukan di tempat pemancingan,” katanya.

Ada dua orang sesama pemancing tak dikenal selalu duduk di dekatnya. Sering ngobrol santai dan berkenalan. Wartoyo bersama teman-temannya benar-benar tidak menyadari, bahwa dua orang inilah yang kelak membuatnya meringkuk di dalam jeruji besi.

“Dua orang itu ternyata intelijen Densus 88. Mereka sering bantuin saya. Bahkan setiap kami mancing, mereka ikut. Orang Densus ini juga hobi mancing beneran, kelihatan dari caranya melempar kail. Mereka bukan sekadar pura-pura. Saya tidak tahu, setiap percakapan kami ternyata direkam menggunakan alat semacam kamera inframerah,” katanya.

Bahkan hampir selama kurang lebih satu tahun, Wartoyo tidak menyadari bahwa orang yang selama ini berkumunikasi itu adalah intelijen. Hubungannya sangat akrab. Wartoyo hingga memanggilnya dengan sebutan “Pak Dhe”.

“Lha wong sering salat berjamaah juga. Kadang ikut mengaji, mancing,” katanya.

Hingga pada puncaknya, Wartoyo ditangkap usai makan bakso. Saat kelompok Wartoyo ditangkap, terlebih dahulu Pimpinan Halimeda tertangkap. “Pimpinan kami yang ditangkap itu sebelumnya telah ditetapkan sebagai DPO. Sempat saya umpetin di Poso bareng lima anak SMP pada 2010. Setelah dia tertangkap, merembet ke saya,” katanya.

Begitu ditangkap, Wartoyo dibawa ke Kelapa Dua untuk selanjutnya disidangkan. Akhirnya divonis 4 tahun pada 2012. Namun ia mendapatkan remisi dan bebas pada 2014. Saat di dalam penjara, Wartoyo bertemu dengan Umar Patek (dalang bom Bali), bertemu pelaku penembakan polisi di Poso, hingga kasus Jalin Jantho Aceh.

“Kami juga pernah baku hantam dengan John Kei (terpidana kasus pembunuhan). Saat itu John Kei bareng di penjara,” katanya.

Keributan tersebut dipicu karena kelompok John Kei sering berisik memutar lagu dangdut saat waktu salat. Wartoyo yang memang telah berkali ulang keluar masuk penjara, tersulut amarah.

 Kalau saat salat diganggu pasti kami marah. Terjadilah baku hantam,” katanya.


Hingga mendekam di penjara, Wartoyo mengaku tidak mengetahui jaringan yang diikuti tersebut merupakan kelompok apa. “Tidak paham. Setelah dipenjara, saya baru tahu ternyata rentetannya adalah Jamaah Islamiyah (JI), afiliasinya Al Qaeda,” katanya.

Setelah bebas, Wartoyo hingga kini bertekad meninggalkan masa lalunya yang kelam untuk berbuat kebaikan. Ia menyakini kebahagiaan itu ada ketika bermanfaat bagi orang banyak.

Wartoyo sekarang mengelola usaha bengkel motor di Brebes. Dia juga masih sering mengunjungi narapidana terorisme yang sedang menjalani hukuman. Tujuannya untuk memberi semangat agar kelak bisa kembali di tengah masyarakat dengan cara pandang baru.

Dia juga mendirikan Paguyuban Podomoro pada 2019 untuk mewadahi kegiatan mantan Napiter dalam bidang wirausaha. Ada belasan eks napiter dalam paguyuban tersebut.

Ibu saya senang melihat saya bisa kembali. Beliau sempat menangis. Sudahlah Toyo, cukup, jangan lagi. Saya bilang, ‘Bu, saya pasti manut panjenengan. Tolong, saya dimaafkan. Saya kembali ke mertua pun diterima. Mereka ngomongnya persis seperti itu,” katanya.


Wartoyo hingga kini sangat terbuka dan menerima kondisi apa adanya. Ia bertekad mendapatkan ketenangan. “Disebut teroris saya enggak marah, karena kalau sudah berbuat harus siap bertanggung jawab. Sebab, hidup cuma dua; antara kuburan sama penjara saja. Jadikanlah sisa umur hidup itu bermanfaat bagi orang banyak,” kata pria mantan joki balap liar ini. (*)

 

Komentar

Tulis Komentar