Biaya Patungan Pameran Seni Rupa Sangkakala Sukses digelar di Semarang

News

by Eka Setiawan

Berkarya dan karyanya dilihat publik, hal itu tentu membahagiakan. Tak terkecuali bagi 4 perupa ini: Djoko Susilo, Ari Kinjenk, Rudy Vouller dan Soleh Ibnu. Setelah 15 hari digelar, Minggu (9/10/2022) sekira pukul 21.00 WIB pameran seni rupa mereka baru saja ditutup.

“Alhamdulillah, ide dadakan bersama kawan-kawan ini terwujud,” kata Djoko Susilo ketika ditemui selepas penutupan pameran.

Lokasi pameran karya mereka digelar di Tan Artspace, satu kompleks dengan Tandhok Iga Bakar dan Kopi di Jalan Papandayan no.11, Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang.

Penulis sendiri cukup intens mengikuti proses demi proses dari pameran seni rupa yang bertajuk “Sangkakala” ini. Mulai dari obrolan-obrolan dari rumah ke rumah, pelataran kampus, hingga warung kopi.

Mereka menggelar pameran dengan mandiri. Artinya, segala biaya yang muncul dari pameran itu mereka sendiri yang menanggung. Masing-masing patungan Rp1juta. Uang itu di antaranya digunakan untuk dibelikan makanan dan minuman ketika momentum pameran hingga “honor” bagi kawan-kawan mereka yang membantu.

[caption id="attachment_14091" align="alignnone" width="1600"] Empat perupa selepas acara penutupan pameran Sangkakala, Minggu 9 Oktober 2022 malam di Kota Semarang. Dari kiri ke kanan; Djoko Susilo, Rudy Vouller, Ari Kinjenk dan Soleh Ibnu. (FOTO-FOTO: EKA SETIAWAN)[/caption]

Karya mereka memang dijual di pameran tersebut. Hingga tadi malam penutupan, belum semuanya laku. Namun, itu tak mengurangi semangat mereka. Salah satunya terpancar, dari ide membuat pameran lanjutan dengan tajuk yang sama.

Obrolan rencana membuat pameran lanjutan itu, setidaknya terjadi semalam di sebuah warung angkringan di Jalan Kelud Semarang. Penulis mengikutinya. Semangatnya terpancar, walaupun tentu saja ada rasa lelah setelah menggelar pameran.

Tak hanya itu, masing-masing dari mereka pun harus berkutat dengan urusan pribadi masing-masing, tak terkecuali soal pekerjaan rutin yang mereka geluti. Sebut saja; Djoko Susilo yang hingga larut itu tetap menyisihkan waktunya, meskipun esoknya harus berkutat lagi dengan pekerjaannya sebagai kartunis di salah satu media massa.

“Wih wis setengah rolas jebul, mengko balik Kendal wes, setengah jam tekan lah. (Wah, ternyata sudah jam setengah dua belas malam. Nanti langsung pulang Kendal, 30 menit sampai lah),” kata Djoko Susilo sambil lesehan beralas tikar.

Djoko Susilo memang punya alamat tinggal di Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal. Dia melaju menggunakan sepeda motor.

[caption id="attachment_14092" align="alignnone" width="1600"] Berdiksusi di sebuah warung angkringan di Kota Semarang, selepas acara penutupan pameran.[/caption]

Tiga perupa lainnya juga harus berkutat dengan kesibukan masing-masing. Ari Eko Budiyanto alias Ari Kinjenk adalah dosen di Universitas Ngudi Waluyo, Kabupaten Semarang. Vouller adalah mentor lukis atau gambar di Klub Merby. Sementara Ibnu yang akrab disapa Inu juga sehari-harinya bekerja di Kedai Kopi Kang Putu, daerah Gunungpati, Kota Semarang. Itu juga yang akhirnya diksi “karyawan” tersemat pada mereka. Karyawan yang menggelar pameran.

“Kami sempat mengobrol dengan Komunitas Lima Rupa, rencana mau bikin pameran bersama, temanya Empat Sehat Lima Sempurna, empatnya ya kami ini, lima itu ya Komunitas Lima Rupa,” tambah Ari.

Ari dan Inu adalah perantau asal Kabupaten Tegal, sementara Vouller dari Pekalongan. Mereka semua tinggal di Gunungpati, tak jauh dari Kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), almamater mereka. Djoko Susilo pun dari almamater yang sama.

“Karyaku gaya Eropa (jadi mungkin tidak familiar), itu sebagai pelepasan energiku saja. Mungkin nanti di Sangkakala kedua, karyaku kembali ke kartunku, dekoratif,” sambung Djoko Susilo, yang notabene kartunis dengan seabrek penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Djoko Susilo ini paling senior di antara mereka, kelahiran 1970, dan pada 1993 menggelar pameran sekaligus penghargaan di Manga International Cartoon Festival Okhostk, Jepang. Djoko ini juga tercatat 2 kali menyabet ajang bergengsi domestik Adinegoro sebagai karikaturis terbaik.

Apresiasi

Pameran seni rupa bertajuk Sangkakala itu, mulai dari acara pembukaan, banyak menyedot perhatian banyak orang. Baik mereka yang seprofesi atau tidak. Masing-masing perupa memamerkan 5 karya, jadi totalnya ada 20 karya yang ditampilkan. Tentunya dengan gaya masing-masing.

Lima karya Djoko Susilo masing-masing bertajuk; I am The Puppet, Cat Looking at The Moon, Angel of Love, Faithfullnes in Love dan Love Song. Karya Vouller: Tanpa Judul, Like a My Legend Lagging, Ngasor, Senar Kecapi dan Hilang.

Karya Inu, masing-masing; Menunggumu Pulang, Integrasi Rasa, Asimilasi Cinta, Bisikan Rindu Kepadamu, Hanya Kata Ganti untk Damai. Sementara Ari Kinjenk; Looking for to Bully, Conversation the Mosque, The Egoism of Me, Fake it’s Me Now dan Talkative.

“Sangkakala merupakan judul yang kami inisasi bersama untuk menandai sebuah peristiwa seni rupa yang dihelat di Tan Artspace itu. Publik kerap menyamakan diksi sangkakala dengan terompet. Padahal, sangkakala sendiri sebenarnya tidak harus dikaitkan dengan terompet. Asumsi saya, sangkakala adalah sebuah diksi untuk menjelaskan tentang sebuah alat yang digunakan untuk menandai apapun yang berhubungan dengan waktu atau kala,” tulis Muhammad Rahman Athian, Dosen Seni Rupa Unnes sekaligus kurator pameran tersebut.

Di antara gelaran pameran, juga sempat digelar diskusi bertajuk “Urgensi Maping Art Semarang” pada Minggu (2/10/2022) alias sepekan setelah pembukaan. Banyak yang hadir saat diskusi digelar, di antaranya mereka yang tergabung dalam Komunitas 5 Rupa hingga akademisi Prof. Tjetjep Rohindi Rosidi. Penampilan musik juga meramaikan gelaran pameran, di antaranya penampilan dari Band Rumah Pancasila, Tridhatu hingga Mamad HAM Semarang.

Saat diskusi digelar, Prof. Tjetjep tampak mengapresiasi pameran tersebut. “Yang perlu dibangun, sistem-sistem kesenian di Semarang melibatkan lembaga-lembaga yang ada. Ketika satu wilayah atau komunitas tertentu didominasi satu bentuk, itu tidak baik, bukan tidak boleh. Pilihan itu juga menjadikan perkembangan ke depannya,” kata Prof. Tjetjep.

[caption id="attachment_14093" align="alignnone" width="1600"] Prof. Tjetjep Rohendi Rohidi (memegang mikrophone) ketika digelar diskusi "Urgensi Maping Art Semarang" Minggu 2 Oktober 2022 pada rangkaian gelaran Pameran Sangkakala. [/caption]

Hal senada juga diungkapkan Gunarso dari Komunitas 5 Rupa. Dia menyebut komunitasnya terdiri dari para pensiunan dan baru satu tahun berdiri. Soal pameran Sangkakala itu mereka mengapresiasinya.

“Ini membawa angin segar untuk Semarang, karya-karya ‘karyawan’ ini, mudah-mudahan,” tukas Gunarso.

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar