Jalan Sunyi Eks Intelijen JI

Interview

by Abdul Mughis

Dia membuat bunker bawah tanah di sebuah goa wilayah Pantai Parangtritis Bantul Yogyakarta untuk menyembunyikan berbagai macam senjata api.


***

Badawi Rohman (53), menyebut perannya ketika dahulu aktif di Jamaah Islamiyah (JI) sebagai Tholiah atau “intelijen”—yang bekerja untuk JI.

Pasca insiden Bom Bali I, ratusan anggota JI ditangkap. Badawi menjadi salah satu sosok tersembunyi yang sempat berupaya membangun JI bangkit kembali. Pria kelahiran Semarang, 25 Oktober 1969 ini bersama rekannya, Adung, menyusun berbagai rencana.

Di antaranya menyiapkan tempat bagi para kader JI untuk tinggal, mengamankan DPO, mengamankan aset-aset JI dan deteksi dini jika kemungkinan ada pergerakan dari Densus yang memburu mereka.

Sebab itulah, warga Bongsari, Kelurahan Bongsari, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang ini kerap berpindah-pindah tempat. Bahkan dia memiliki KTP dengan 7 nama berbeda.

Pada 2013-1014, dia menyewa sebuah ruko milik seorang anggota DPRD Klaten dari Partai Gerindra yang berlokasi di Jalan Raya Solo – Yogyakarta di Kabupaten Klaten dengan biaya Rp 19 juta per tahun.

Bagian lantai bawah ruko digunakan sebagai bengkel senjata, bagian lantai atas digunakan sebagai “safe house”. Saat itu, istri dan anak-anaknya tinggal di Purworejo. Badawi sendiri kerap berkeliling di wilayah Solo Raya hingga Yogyakarta.

Di Yogyakarta, dia sempat menyewa rumah besar selama dua tahun untuk digunakan sebagai Sasana JI dan Neo JI. Kedua kelompok ini memiliki garis perjuangan yang sama. Mereka bertahan di tengah masyarakat dengan berpindah-pindah tempat.

Bertahan hidup dengan mendirikan berbagai usaha mulai dari toko, jasa bersih rumah, pengepul gula, jualan sandal, cleaning service, maupun jenis usaha lain. Selain untuk mendatangkan pendapatan, aktivitas usaha tersebut sebagai kamuflase—agar pergerakan mereka tersamar.

Dia menjadi DPO sejak 1994, terlibat membuatkan surat pelaku Bom Marriott, termasuk membantu pengurusan pembuatan paspor untuk rekan-rekannya.

Bahkan dia membuat bunker bawah tanah di wilayah Pantai Parangtritis Bantul Yogyakarta untuk menyembunyikan senjata hasil buatannya dan senjata yang dibeli. Senjata rakitan dibuat pada 2009 di Jabar.

Kelihaiannya dalam mengondisikan lokasi dan juga orang-orang dalam jaringan tersebut sejak 2002 – 2014 menunjukkan bahwa Badawi termasuk sosok berpengaruh dalam JI.

Orang-orang waktu itu merasa ikut JI, seperti Jack Harun, sebenarnya belum JI, hanya orang-orang itu merasa JI.


Berikut wawancara tim riset ruangobrol.id dengan Badawi Rohman, pada Senin 17 Agustus 2020 di Kota Semarang:

Sejak kapan Pak Badawi mempelajari Islam?

Sejak kecil. Bisa jadi dari keluarga. Jadi, bapak saya orangnya agamis, aliran keras. Bapak saya mengundang guru ngaji. Sejak SD, saya sudah mendebat hormat bendera.

Ketika saya kelas 5 SD (masuk SD 1976)—saat itu zaman Pak Harto, setiap masuk dan keluar kelas diminta hormat bendera. Saya mendebat guru di salah satu SD Muhammadiyah di Semarang. Saat itu, saya sudah ada dalil kuat. Ternyata ada guru agama yang membenarkan saya juga.

Bagaimana orang tua Anda memberikan pendidikan agama?

Saat bapak mengaji, saya disuruh ikut. Hampir sekeluarga semua begitu. Terkait hormat bendera itu, begini, siapa yang harus dihormati? Bendera itu apa? Hormat itu bukan seperti itu.

Apabila hormat bendera itu adalah ibadah, berarti 19 Agustus juga ibadah? Lantas ibadah itu apa? Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu aja (di sekolah saat itu) ada yang membenarkan. Akhirnya ramai, saya pernah ditahan di kelas, karena tidak mau hormat bendara merah putih.

Sewaktu SD sudah mengenal doktrin? Lantas masuk organisasi di usia berapa?

SMA sudah masuk Rohis (Rohani Islam). Saya juga masuk OSIS. Ketua OSIS-nya saya “sikat”, saya mengondisikan OSIS ini, untuk ditarik ikut kajian Rohis.

Saya harus klandestin (secara diam-diam). Saya biasanya mengondisikan. Biasanya, respons teman-teman senang.

Saat itu pengikutnya berapa?

Saya pilih-pilih, mana yang bisa dimasukkan inti, mana yang simpatisan. Menggunakan Aqidah Al-Wala' wal Bara' saya pelajari mereka. Saya bisa melihat bagaimana loyalitas orang ini terhadap kaum muslimin. Permusuhan terhadap orang-orang kafir misalnya, oh berarti ini bisa ditarik. Tapi kalau enggak bisa ditarik, berarti prosesnya harus di bawahnya.

Jadi ketika SMA sudah bisa memilih mana yang tim inti, mana yang simpatisan?

Begitu masuk SMA, ternyata teman satu tim di SMP yang saya pengaruhi masuk di situ. Jadi, satu geng. Di situ kami ‘mainkan’.

Apa yang Anda lakukan bersama satu geng di sekolah saat itu?

Kalau saya dulu begini, misalnya upacara, saya dengan alasan bukan syar’i, tetap bergabung dengan orang-orang itu. Jadi tidak terkesan radikal.

Saya pernah gabung dengan orang-orang yang merokok, saya merokok juga. Aslinya saya bukan perokok. Jadi, tahunya ikut (golongan) orang-orang itu. Saat SD, SMP masih idealisme. Tetapi waktu SMA sudah mulai berpikir saya harus klandestin.

Bagaimana dengan upacara di sekolah?

Saya mempengaruhi orang-orang supaya tidak ikut upacara. Jika terpaksa ikut upacara, posisinya di belakang. Diam saja, tidak ikut hormat.

Aktivitas setelah lulus SMA 1988 seperti apa?

Kerja. Saya jualan sate di Pamularsih Semarang. Ketika terjadi Bom Borobudur, ada yang ditangkap. Saya salah satu orang yang terlibat mencarikan kontrakan, saya pergi ke Jakarta, balik lagi sekitar 4 tahun sudah berubah. Saya ke Jakarta ternyata sudah lebih semarak, karena Jamaah Islamiyah (JI) sudah kuat.

Setelah lulus SMA, apakah teman-teman Anda masih aktif di jaringan?

Iya, masih di jaringan. Yang belum lulus SMA pun tetap bergabung. Tapi sebetulnya pada saat itu belum menjadi anggota JI.

Jadi begini, orang-orang merasa ikut JI, seperti Jack Harun, sebenarnya belum JI, hanya orang-orang itu merasa JI. Waktu itu, saya juga merasa (sudah masuk JI), oh ternyata belum. Setelah itu, oh ternyata harus mulai tahapan-tahapan.

Sejak kapan resmi masuk menjadi tim inti JI?

Sejak 2002 hingga ditangkap 2014.

Mengapa saat itu tertarik menjadi tim inti JI? Apakah digaji?

Digaji, iya. Meski tidak banyak. Tapi cukup untuk kebutuhan dasar, anak sekolah, ada yang memikirkan.

Beasiswa dari organisasi JI kah?

Istilahnya bukan beasiswa, tapi dibiayai. Misi saya bukan gaji. Saya dari dulu kan orang wiraswasta juga aktivis. Tetap bekerja, tapi juga bisa full aktif di organisasi. Ternyata saya bisa. Lembaga memandang saya “full”, total. Loyal, maka fasilitas dilengkapi.

Kapan Anda ditangkap?

15 Mei 2014 di Jogonalan Klaten.

Lho, Anda warga Semarang kok ditangkap di Klaten?

Saat itu sudah ditetapkan sebagai DPO, sejak coblosan SBY (2005). Saya buatkan surat pelaku Bom Marriot. Nah, pelaku Bom Marriot tertangkap. Waktu itu, melalui KTP, ternyata yang membuatkan surat pelaku bom itu ditelusuri.

Posisi saya saat itu sedang di rumah, ditelepon teman saya “Kamu sudah baca koran hari ini?” saya jawab: “Belum, kenapa?” saya cek, wih nama saya keluar di media. Saya langsung lari ke Yogyakarta, Surabaya, Gresik, Bojonegoro dan Klaten. KTP saya ganti-ganti, tujuh KTP lebih.

Sewaktu menjadi DPO, sikap istri Anda bagaimana?

Saya pindah dari tempat satu ke tempat lain. Saya cari kontrakan dan selalu membuka usaha. Kalau sudah ada kerjaan, istri saya bawa. Di setiap tempat rata-rata 2–3 bulan saja. Karena banyak teman-teman saya yang ditangkap. Akhirnya, istri saya paham sendiri. Saya nikah sejak 1996.

DPO, apakah saat itu masih komunikasi dengan jaringan?

Masih. Di Surabaya, kalau ada pertemuan saya hadir. Komunikasi online juga, menggunakan HP dan laptop. Bahkan kami dulu mempunyai server sendiri. Ada grup, buka jam sekian, kami menggunakan sandi-sandi khusus untuk membicarakan hal tertentu. Tapi kalau hal detil ya bertemu offline.

Di tim inti JI menjabat sebagai apa?

Intelijen. Sejak kecil saya sudah terdidik, passion-nya di situ.

Waktu tinggal di Bojonegoro membuka usaha apa?

Membuka jasa cuci sofa, cleaning service. Jaringan membantu saya (untuk membuka usaha). Promosi menggunakan koran dan spanduk. Selama bekerja, Kawan-kawan saya ajak ke organisasi. Pernah melayani jasa cleaning service di Pemprov Jateng, Bandara, Indofood, PLN, Citraland.

Di Yogyakarta juga pernah menjadi cleaning service di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Hotel Wisanti. Bahkan, di UMY saya mendapat kepercayaan dari Pak RS, dia tidak tahu kalau saya DPO. Tahunya saya orang yang bisa dipercaya.

BACA JUGA: Yang Tersembunyi di Balik Kelahiran Neo JI

Bahkan selama DPO, saya memaksimalkan pemuda-pemuda setempat, saya ajak untuk menjadi simpatisan. Kalau ada orang yang mencari saya, mereka bisa membentengi saya. Menjadi “spion-spion” yang mengamankan saya. Saya pekerjakan mereka, kemudian mereka memberi info ke saya.

Setelah di Yogyakarta, saya tinggal di Gresik, membuat usaha salon mobil dan cuci sofa karpet. Saya rekrut orang baru dengan model yang sama. Saya DPO, maka tekad saya harus bisa menghasilkan uang sekaligus membangun keamanan buat saya.

2009 – 2010, saya membuka usaha sandal di Pekalongan. Saya terus terang sudah nggak berani promosi, pasang iklan. Kalau dulu belum dapat izin, saya sudah berani pasang spanduk dan iklan di koran. Usaha-usaha saya sudah terdeteksi (Densus sudah mengikuti).

Setelah 2010?

2010 di Kendal, jualan sandal. Saya kontrak ruko, atas untuk tempat tinggal bawah untuk jualan. Organisasi tetap peduli selama saya DPO. Setelah itu saya ke Kutoarjo 2 tahun sebagai pengepul gula hingga 2013, kemudian di Klaten.

Pengadaan senjata api?

Sebetulnya, pengadaan senjata itu telah dimulai saat di Pekalongan 2009. Termasuk di Kutoarjo dan tertangkap di Jogonalan Klaten.

Terkait senjata itu ada tim. Saya termasuk tim perencana. Menentukan tempat pembuatan di mana, siapa orangnya, itu saya yang mengkaji. Pada 2009, senjata dibuat di Jawa Barat.

Di Yogyakarta, saya mengontrak bengkel. Bahkan saya membeli tanah untuk bunker penyimpanan senjata, tepatnya di Goa Ciremai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.

BACA JUGA: Jejak Kecerdikan Para Wijayanto Mengubah Taktik JI

Untuk mengelabui, dibikin Septic Tank. Di sana banyak warga NU, maka saya bikin slametan. Saya sendiri bukan NU. Saya termasuk orang yang nyari senjata, dari siapa, di mana, bahkan senjata dari sejumlah mafia, di Jakarta dan lain-lain, saya masuki.

Walau pun saya berpindah-pindah, bunker ini diamankan oleh tim. Dulu, lahan tanah itu saya beli menggunakan uang sendiri. Kalau ada tanah murah saya beli dulu, nantinya kan butuh.

Senjata-senjata itu untuk apa?

Persiapan-persiapan saja. Saat itu, rencana amaliyah belum ada. Ya, misalnya untuk persiapan di Poso. Jenis senjatanya berbagai macam, bom nanas juga ada. Termasuk dapat banyak hibah dari Dulmatin.

Istilah “kebangkitan Islam” itu apa maksudnya? Apakah akan ada perang?

Saat saya di dalam (JI) iya ada. Tidak bisa saya pungkiri, mengenai “kebangkitan Islam” itu kalau dipaparkan di masyarakat diterima. Saya tahu, mahasiswa banyak yang menerima. Hanya saja itu dilakukan secara klandestin (tersembunyi). Lembaga mempersiapkan itu. Termasuk senjata itu.

Terkait perang, tidak, itu persiapan. “Kebangkitan Islam” akan datang itu jelas. Kemudian bagaimana rotasi kebangkitan itu kami harus persiapan. Di situlah, akhirnya—yang namanya tinggal di Indonesia—kemungkinan akan terjadi konflik. Peristiwa di Poso itu, senjatanya masih rakitan atau manual.

Pengalaman di dalam penjara?

Awal-awal di penjara, Astaghfirullah Hal Adzim. Ada pergeseran jihadis. 2014, kan ada ISIS. Saya melihat terjadi penyesatan-penyesatan banyak sekali. Terlalu Ghuluw (melampaui batas). Akhirnya saya berpikir, saya orang ideologis dari kecil. Dulu di Mako Brimob, nggak ada itu Jabhat al-Nusra. ISIS bentrok saat kedatangan saya.

Saya tidak menyalahkan, tapi menyadarkan. Pengeboman masjid, oh ini ada yang salah dengan pemahaman. Kitab-kitab dasarnya sama, mempelajari hal yang sama, tapi aplikasinya kok beda?

Misalnya amaliah jihad dengan ikhtialat bom bunuh diri itu dilakukan di wilayah mana? Oh itu betul kalau di Suriah, tapi tidak bisa diterapkan di Indonesia. Masih perlu proses.

Dalam konteks sekarang, bagaimana Anda melihatnya?

Di Indonesia, cocoknya untuk dakwah. Kita tidak memungkiri jihad kontak fisik itu ada. Di zaman Rasulullah juga sudah ada. Di Madinah tidak ada (kekerasan) dan Rasulullah diterima.

Indonesia 85 persen muslim. Kultur yang pantas dalam dakwah. Kontak fisik itu mungkin bisa terjadi di Suriah, itu kan Syam, sebagaimana dijanjikan Rasulullah.

Bagaimana dakwah untuk memberi pemahaman kaum Muslimin? Ini lhoh Islam yang rahmatan lil alamin. Jadi tidak semua harus angkat senjata. Kalau misalnya peperangan, misalnya penaklukan Konstantinopel, di tempat tertentu tidak harus sama. Tetap berjihad dengan cara damai.

Saya melihatnya perlakuan pemerintah terhadap umat Islam tidak adil. Saya sering turun di daerah konflik, melihat adanya ketidakadilan. Sampai detik ini masih punya kepercayaan itu. Akibat diperlakukan tidak adil, maka yang terjadi konflik. (*)

[Wawancara ini dilakukan dilakukan oleh tim riset ruangobrol.id, Eka Setiawan, pada Senin 17 Agustus 2020 di Kota Semarang]

Komentar

Tulis Komentar