Teliti dan Hati-hati, Manipulasi Yayasan Pengepul Donasi

Analisa

by Abdul Mughis

Niat baik untuk berdonasi itu salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Tapi bagaimana jika niat baik itu ternyata diselewengkan untuk kegiatan teror?


Belakangan ini banyak bertebaran lembaga filantropi berkeliaran di media sosial mengumpulkan donasi sosial. Mereka menggunakan narasi dahsyat disertai ayat, kalimat menyayat dan dilengkapi gambar-gambar menyedihkan untuk menyentuh hati masyarakat.

Narasi-narasi tersebut misalnya gerakan membantu yatim piatu, membantu saudara sesama muslim yang tertindas di negara Islam, membantu pengadaan mobil ambulance gratis untuk warga miskin, membantu pembangunan masjid, membantu pendidikan penghafal Al-Quran, hingga membantu korban bencana alam.

Tidak sedikit masyarakat berempati untuk menyumbangkan sebagian uangnya. Miliaran uang pun terkumpul. Namun siapa mengerti, ternyata ada manipulasi di balik yayasan pengepul donasi itu. Uang yang terkumpul malah diselewengkan untuk kegiatan organisasi teror.

Sebagian kelompok berkedok yayasan donasi itu telah terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hingga saat ini tercatat ada 21 lembaga filantropi atau Non-Profit Organization (NPO) terkait jaringan teror.

World Giving Index mencatat Indonesia adalah negara paling dermawan nomor 1 di dunia. Ini tidak berubah sejak 2018. Tentu, kita sangat bangga dengan kedermawanan orang Indonesia. Tapi kedermawanan ini bisa menjadi celah untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu,” ungkap penggagas gerakan #CerdasBerdonasi, Prihandoko, dalam diskusi publik“Edukasi pencegahan pendanaan terorisme melalui lembaga filantropi keagamaan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme (PRIK-KT) Universitas Indonesia (UI), Kamis, 8 September 2022.

BACA JUGA: PPATK Sebut 21 Lembaga Filantropi Terkait Jaringan Teror

Prihandoko sejauh ini aktif mengkampayekan gerakan #CerdasBerdonasi sebagai misi edukasi dan mengingatkan publik agar selalu teliti dan hati-hati saat berdonasi. Sebab, narasi-narasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok tersebut berbahaya dan tidak jarang masyarakat tertipu.

“Banyak kami temukan ada yang komen ‘Yang penting niat dan ikhlas. Uang tersebut mau dipakai buat apa bukan urusan kita’. ‘Kok mau berdonasi saja ribet banget?’. Ini menjadi tantangan bagaimana kita untuk terus melakukan edukasi,” ungkapnya.

Prihandoko menjelaskan, bahwa berdonasi harus bisa dirasakan manfaatnya bagi orang yang membutuhkan. “Bukan dipakai untuk kepentingan-kepentingan lain. Salah satunya digunakan untuk pendanaan terorisme ini,” katanya.

Narasi yang dibangun seperti “Yang penting niat dan ikhlas” itu seperti telah menjadi kekeliruan mindset di tengah masyarakat. Pemahaman seperti itu perlu diluruskan.

Menyumbang bukan hanya persoalan ‘ikhlas’, tetapi harus dilengkapi dengan ketelitian agar tidak disalahgunakan,” ujarnya.


Berdasarkan pengamatannya, lanjut Prihandoko, sejauh ini masih banyak masyarakat kebingungan mengenai bagaimana berdonasi yang aman dan tepat. “Publik ternyata banyak yang tidak paham, bahwa donatur itu memiliki hak mengetahui informasi mengenai pengumpulan donasi tersebut,” terang dia.

Misalnya mempertanyakan lembaga pengumpul donasi tersebut apakah memiliki izin atau tidak? Transparansi penyalurannya bagaimana? “Hak-hak ini sebetulnya telah diatur secara internasional. Ini yang kadang-kadang dilupakan oleh publik. Jadi, jangan ragu atau malu menanyakan kepada pengumpul dana,” sarannya.

BACA JUGA: Jejak Kecerdikan Para Wijayanto Mengubah Taktik JI

Menurut dia, sejauh ini regulasi terkait pengumpulan dana ini masih memiliki banyak celah. Sebab, pemerintah saat ini masih menggunakan regulasi Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang pengumpulan uang atau barang. UU ini tertinggal jauh jika diterapkan di era sekarang.

“Peraturan Pemerintah (PP) ada, tapi juga 1980. Jika diterapkan di era saat ini dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, regulasi tersebut kurang relevan. Donasi sekarang sudah semakin canggih, donasi online dan lain-lain. Maka menurut kami perlu ada revisi UU tersebut supaya celah penyelewengan pengumpulan donasi itu bisa ditutup,” bebernya.

BACA JUGA: Tantangan Memutus Mata Rantai Pendanaan Teror

Perlu adanya regulasi yang mengatur transparansi Laporan Pertanggung Jawaban penyaluran dana donasi oleh lembaga pengumpul donasi kepada publik. “Sejauh ini, kami tidak menemukan lembaga donasi yang benar-benar melaporkan pengumpulan sumbangan dan penyalurannya, misalnya melalui website. Ini yang menurut kami perlu diperbaiki dalam regulasi donasi,” imbuhnya lagi.

Dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 8 Tahun 2021 memang telah disinggung mengenai donasi menggunakan media sosial dan aplikasi digital. “Sayangnya tidak menjelaskan secara rinci dan detail mengenai pengaturan donasi melalui media digital. Ini menjadi persoalan. PPATK telah menyebut banyak entitas NPO (lembaga filantropi) yang tercatat dalam daftar jaringan terorisme. Tetapi yang kami lihat, ternyata publik belum sepenuhnya mengetahui daftar lembaga-lembaga tersebut,” katanya.

Saat melakukan sosialisasi, pihaknya mengaku sering menerima pertanyaan dari masyarakat di media sosial.

Kak, lembaga ini aman nggak? Ini menjadi persoalan, karena informasi kami mengenai lembaga-lembaga filantropi juga terbatas,” imbuhnya.


Dia berharap, ke depan, gerakan #CerdasBerdonasi bisa membuat platform yang memuat informasi lembaga filantropi secara rinci. “Apakah lembaga donasi ini berizin, apakah transparansinya benar-benar dilakukan. Ini masih berusaha kami kumpulkan. Mungkin akan berguna bagi publik. Apalagi setelah munculnya kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT), masyarakat kebingungan, takut menyumbang karena takut salah tempat,” katanya.

BACA JUGA: Neo Fa’i Kelompok Teror Incar Bank dan BUMN  

Untuk menghindari agar tidak terjebak dalam tipu-tipu yayasan filantropi, Prihandoko memberikan tips. Berpedoman aturan, pengumpulan donasi harus memiliki izin. Maka masyarakat agar tidak ragu menanyakan perizinan. Masyarakat berhak menanyakan transparansi penyaluran dana donasi.

“Pengumpul donasi adalah lembaga atau yayasan berbadan hukum. Artinya, tidak bisa dilakukan oleh perorangan. Rekeningnya harus atas nama lembaga atau yayasan tersebut, tidak bisa rekening pribadi. Tapi fakta yang terjadi di media sosial, ada open donasi, tapi rekeningnya rekening pribadi. Jika mereka menggunakan rekening pribadi, lantas bagaimana pertanggungjawaban penyalurannya?” terang dia. (*)

Komentar

Tulis Komentar