Permasalahan ABK kapal perikanan ini berawal dari tata kelola yang belum diatur secara lengkap.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) UPT Semarang wilayah Jawa Tengah, Pujiono mengakui adanya sengkarut permasalahan yang menimpa para pekerja migran Indonesia di kapal asing penangkap ikan ini. Namun pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena belum memiliki Undang-Undang (UU) maupun regulasi tata kelola secara spesifik.
“Permasalahan ABK kapal perikanan ini berawal dari tata kelola yang belum diatur secara lengkap,” terang Pujiono, pada Juni 2022 lalu.
Tata kelola perekrutan ABK ini belum memiliki aturan secara jelas. Mulai dari proses rekrutmen yang dilakukan manning agent. Belum ada standarisasi kompetensi ABK yang ditempatkan di kapal berbendera asing, hingga perjanjian kerja.
“Keterlibatan pemerintah hingga saat ini belum ada. Sehingga dokumen persyaratan untuk bekerja di kapal ini apakah telah sesuai atau tidak, sulit terpantau. Ini menjadi masalah,” katanya.
Dia menegaskan, perjanjian kerja misalnya, hak-hak pekerja migran harus dipastikan sesuai dengan ketentuan peraturan. Hal yang terjadi saat ini, ABK diperlakukan tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Akibatnya, ABK ini tidak mendapatkan layanan dan hak secara layak.
“Mulai tempat tinggal, makan, jam kerja, itu menjadi masalah. Dampaknya banyak ABK mengalami depresi. Setelah depresi, mungkin saja ada yang berusaha melarikan diri untuk kabur karena tidak ingin memperpanjang kerja di situ. Ada yang nyebur ke laut dan seterusnya,” ujarnya.
Maka dari itu, Pujiono mendorong agar segera ada Peraturan Pemerintah (PP) dan segera dibuat Undang-Undang (UU) untuk memastikan bahwa ABK yang diberangkatkan sesuai kompetensi dan sesuai aturan. Baik aturan internasional maupun nasional.
“Sesuai UU Nomor 18 Tahun 2017, awak kapal termasuk pekerja migran,” katanya.
Sejauh ini, lanjut Pujiono, tidak ada yang memverifikasi manning agency karena pemerintah sendiri belum memiliki peraturan mengenai ABK ini. “Manning agency memungut biaya. Pemerintah tidak ikut memverifikasi, maka kontrak kerjanya pun tidak bisa dipastikan apakah merugikan ABK atau tidak,” ujarnya.
BACA JUGA: Kesedihan Tersembunyi di Tengah Samudera Lepas
Biasanya, lanjut Pujiono, ABK hanya disodori perjanjian kerja sepihak. Bahkan tanda tangan ABK pun banyak yang dipalsukan. Dokumen buku pelaut dikuasai nahkoda hingga penempatan tidak sesuai dengan perjanjian kerja.
Kondisi pekerjaannya buruk, pemenuhan hak menjadi masalah, tidak dimasukkan asuransi, gaji tidak dibayar, gaji dipotong oleh agen. Mereka tidak bertanggung jawab,” katanya.
BACA JUGA: Deretan Kasus Ekploitasi Buruh Migran Berujung Hilangnya Nyawa
Menurutnya, Kementerian Tenaga Kerja, BP2MI, harus terlibat dalam tata kelola ini mulai dari rekrutmen awal hingga pemberangkatan. “Semua harus terdata dalam sistem. Sehingga kami bisa mengontrol kepada manning agency. Kami juga sudah melakukan kajian, bagaimana tata kelola perekrutan ABK ini bisa diperbaiki. Yang jelas, pemerintah pusat hingga pemerintah daerah punya kewajiban untuk melindungi pekerja migran,” katanya. (*)