Pentingnya Pelibatan Generasi Milenial dalam Pencegahan Ektremisme

News

by Akhmad Kusairi

Deputi Bidang Kerjasama Internasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Andhika Chrisnayudhanto menegaskan pentingnya melibatkan pemuda dan kaum milineal dalam kerja-kerja pencegahan ektremisme yang mengarah ke terorisme.

Menurut Andhika hal itu diperlukan untuk menciptakan perdamaian di masa mendatang. Apalagi, lanjut Andhika, PBB telah mengeluarkan resolusi nomor 2250 tentang pemuda, peradamaian dan keamanan. Menurutnya, dalam resolusi itu PBB menekankan pentingnya mengatasi kondisi dan faktor yang menyebabkan munculnya radikalisasi kekerasan di kalangan pemuda.

“Resolusi itu mendesak negara anggota untuk mempertimbangakn cara meningkatkan keterwakilan pemuda yang inklusif dalam pengembalian keputusan dalam setiap tingkatan dalam melawan penanggulanggan ektremisme berbasis kekerasan. Resolusi itu menggaris bawahi 5 pilar peran penting pemuda dalam mewujudkan perdaamaian keamanan dan pencegahan ektremisme yang mengarah ke kekerasan dan terorisme,” kata Andhika dalam sambutannya di diskusi dengan tema “My Experience With Terrorisme, Conflict, and extremisme Ask Me Anything yang diselenggarakan kerjasama BNPT, ICITAP dan Ruangobrol.id di At America Senayan Jakarta pada Rabu (20/7/2022).

Lebih lanjut, Andhika menambahkan jika BNPT akan terus mendorong forum-forum seperti yang digagas oleh ICITAP dan Ruangobrol ini untuk menjadi ruang dialog dan juga pertukaran informasi antar aktivis pemuda terkait dengan pengembangan terkini agenda youth, peace an security dan Pencegahan Ekstremisme berbasis kekerasan di Indonesia.

Hal itu menurutnya senada dengan Kebijakan Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo yang menjadikan pembangunan manusia, melalui pendidikan berkualitas bagi kaum muda sebagai prioritas nomor satu.

“BNPT Indonesia juga telah menempatkan pemuda sebagai pusat strategi pencegahan ekstremisme  melalui pendekatan seluruh pemerintah dan juga  seluruh masyarakat sipil. Pada Januari 2021 telah mendapatkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE 2020-2024 yang prinsip pemberdayaan pemuda menjadi hal penting,” imbuhnya.

Andhika menambahkan berapa program-program yang tertuang di dalam RAN PE, terkait pemberdayaan pemuda, yaitu melakukan penelitian tentang persepsi pengalaman individu baik laki-laki, perempuan, termasuk pemuda dan anak-anak, tentang pencegahan ektremisme yang mengarah ke terorisme. Program lainnya adalah pengembangan jaringan pembuat konten digital, dengan partisipasi tokoh pemuda tokoh agama, adat, tokoh perempuan, dan peran media massa untuk mencegah ektremisme.

Pemerintah juga akan melakukan program trainings of trainers bagi para pemimpin pemuda dalam menyampaikan pesan-pesan pencegahan kekerasan ektremisme yang mengarah ke terorisme. Karena itu kedepannya pencegahan ektremisme pasca covid harus memprirotaskan pelibatan dan pemberdayaan pemuda. Hal itu bertujuan untuk mengembangkan literasi digital dan juga pemikiran kritis.

“Melalui Ask Me Anything, kami berharap peserta memahami secara utuh informasi terkait anak muda dalam lingkaran terorisme. Selain itu kegiatan ini dapat memberikan informasi secara utuh tentang cara-cara pecegahan pemuda dari aksi terorisme serta mengenal dan memahami persepktif mereka,” imbuhnya.

Karena itu kata Andhika, kegiatan diskusi Ask Me Anything menjadi momentum yang tepat sejalan dengan komplekstitas tantangan yang dihadapi dewasa ini sehubungan dengan merebaknya fenomena ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme dalam sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Khususnya di kalangan rentan seperti pemuda. Apalagi kebangkitan ekstremisme kekerasan telah menjadi fenomena global dewasa ini.

“Covid-19 beresiko memperburuk tantangan dan kerentanan di kalangan kaum muda di seluruh dunia. Hal ini berlaku juga di Indonesia. Selama pandemi ini kita telah melihat peningkatan penggunaan teknologi komunikasi dan media sosial di kalangan anak muda. Hal ini pada gilirannya membuat mereka menjadi target peningkatan narasi dan propaganda ekstremisme secara online. Jika kita amati dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir peran pemuda dalam jaringan ektremisme dan terorisme makin mengemuka,” katanya.

BACA JUGA: 85 Persen Milenial Terpapar Radikalisme

Menurut Andhika, pemuda memiliki semangat juang tinggi ditambah dengan idealisme dan teguh memperjuangkan sesuatu yang ia yakini. Potensi inilah yang dimanfaatkan untuk direkrut dalam jaringan terorisme.

"Dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia sebagai pelaku teroris. Seperti yang kita lihat dalam peristiwa ledakan di depan Gereja Katedral Makassar sebagai salah satu contoh. Ada banyak survey yang dilakuakn oleh pemerintah dan CSO terhadap kerentanan di kalangan anak muda,” kata dia.

Sementara itu, berdasarkan Survey Alvara Institute, 23,3 persen mahasiswa terpelajar setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Sedangkan 18 persen setuju khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal dibanding NKRI. Temuan serupa juga saat survey FKPT dan BNPT pada tahun 2020 yang mencatat indeks potensi radikalisme, cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, kelompok urban, generasi muda, gen Z dan juga generasi milineal, serta mereka yang aktif di internet dan media sosial.

Demikian juga temuan INFID dan juga jaringan Gusdurian yang dilakukan di Makasar, Pontianak, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta pada 2020. Survey itu mencatat bahwa terdapat pergeseran positif sikap dan pandangan generasi muda terhadap isu intoleransi dan ektremisme kekerasan berbasis agama dibandingkan temuan survey di 2016. Namun pada saat yang sama terdapat gap antara ketegasan sikap yang menolak sikap ektremisme kekerasan berbasis agama dengan kegamangannya dengan isu intoleransi. (*)

 

Komentar

Tulis Komentar