Berbagai bentuk eksploitasi menimpa ABK asal Indonesia di atas kapal asing.
Setelah tiga anak buah kapal (ABK) menggugat Presiden RI Joko Widodo karena dinilai abai dan membiarkan terjadinya praktik perbudakan ABK Indonesia di atas kapal asing, akhirnya sekarang telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Penetapan tersebut dilakukan oleh presiden pada Rabu, 8 Juni 2022 lalu. Tiga ABK yang menggugat presiden tersebut masing-masing; Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah, serta Pukaldi Sassuanto asal Bengkulu. Mereka menjadi korban eksploitasi bahkan mengarah ke perbudakan di atas kapal asing.
Berbagai bentuk eksploitasi menimpa ABK asal Indonesia di atas kapal asing. Mulai dari tidak diberikan bekal pelatihan berbahasa, tidak diberikan layanan kesehatan, jam kerja melebihi batas wajar, makan tidak layak, kekerasan fisik, hingga gaji tidak dibayarkan.
“Diterbitkannya PP ini tentu menjadi kabar baik. Tapi ini adalah kemenangan kecil dalam memperjuangkan hak keadilan dan pelindungan ABK perikanan,” katanya, Sabtu (11/6/2022).
Dia berharap, pemerintah mulai memberikan pelindungan terhadap hak-hak ABK asal Indonesia. Pemerintah harus terlibat aktif melakukan pengawasan terhadap perusahaan agensi penyalur ABK kapal perikanan. PP tersebut, menurutnya adalah langkah awal pemerintah melakukan pembenahan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK migran Indonesia di kapal asing.
“Kami juga berharap, pemerintah segera memberikan langkah tegas terhadap perusahaan yang bertanggungjawab atas gaji ABK. Saya bekerja selama 2,5 tahun. Hak gaji saya sama sekali belum terbayarkan,” ungkap dia.
Kuasa hukum ABK, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, perjuangan para ABK tidak akan berhenti sampai di sini. Sebab, masih banyak hal mengenai pelindungan ABK.
“Kami juga perlu mengkaji isi dari PP ini guna memastikan bahwa PP ini benar-benar dapat memberikan pelindungan bagi para ABK migran asal Indonesia,” ungkapnya.
PP ini, lanjut Viktor, disahkan oleh presiden bertepatan dengan hari pertama sidang gugatan administratif yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta.
“Dalam kesempatan tersebut, perwakilan pemerintah tidak hadir. Sidang kedua akan dilaksanakan pada Rabu, 15 Juni 2022. Kami berharap perwakilan pemerintah dapat hadir di sidang kedua tersebut. Secara resmi, kami akan menyampaikan bahwa objek yang digugat telah dikabulkan. Dengan demikian gugatan administratif dapat dicabut,” katanya.
Pihaknya juga akan terus menempuh upaya lain untuk memperjuangkan hak-hak para penggugat yang belum diberikan. Langkah hukum yang dilakukan para ABK ini didukung oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia.
BACA JUGA: Kisah Pilu Para ‘Pelaut’ di Ujung Maut
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, pemerintah dalam hal ini telah abai, karena tidak menjalankan amanat Pasal 64 dan Pasal 90 UU PPMI. Menurutnya, langkah hukum menggugat presiden ke PTUN memang harus dilakukan.
“SBMI bersama Greenpeace Indonesia dan jaringan memang harus terus mendorong dan mendesak pemerintah agar menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan UU,” jelasnya.
BACA JUGA: Pelanggaran HAM dan Pembiaran Eksploitasi Pekerja Migran di Atas Kapal
Faktanya, lanjut Hariyanto, presiden baru menandatangani PP Penempatan dan Pelindungan ABK setelah tiga mantan ABK perikanan mengajukan gugatan ke PTUN. “Perbaikan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK, perlu terus dikawal,” katanya.
Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, pemerintah selama ini sangat lamban dalam menangani kasus eksploitasi atau perbudakan ABK perikanan di atas kapal asing ini.
“Ini menjadi preseden buruk. Pemerintah baru mengesahkan PP Penempatan dan Pelindungan ABK setelah adanya gugatan dari ABK. Mengapa harus ke meja hijau dulu baru melakukan pelindungan ABK?” ujarnya mempertanyakan.
Pihaknya berharap, pemerintah Indonesia serius untuk menindaklanjuti penyelesaian permasalahan dalam lingkarang bisnis perikanan global. “Praktik perbudakan di laut harus diakhiri. Pemerintah harus terlibat dalam menegakkan pengelolaan yang bertanggung jawab, baik sosial maupun lingkungan,” terang dia (*)