Warna Pakaian Kesukaan Orang yang Terpapar Paham Radikal

News

by Abdul Mughis

Ternyata ada warna-warna khusus yang digunakan oleh kelompok radikal. Seperti apa?


Pergerakan kelompok radikal memang terselubung. Mereka bahkan telah membaur menjadi satu dalam aktivitas harian di tengah masyarakat. Di perkampungan padat, perkotaan, forum kajian, media sosial, situs internet, bahkan kampus.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Dr Awaludin Pimay, LC. M.Ag, mengajak mengenali secara sederhana bagaimana ciri-ciri kelompok ini. Baik dari pola dakwah, doktrinasi atau ajaran, ajakan memerangi kaum kafir, hingga bagaimana warna pakaian kesukaan orang yang terpapar paham radikal.

“Saya pernah satu pesantren dengan Ustaz Yusuf (Machmudi Hariono alias Yusuf, mantan jaringan teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan mantan Napiter). Saya juga alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, UAS (Ustaz Abdul Somad) itu adik kelas saya, selama 14 tahun tinggal di Arab,” katanya, dalam diskusi acara diskusi penanggulangan radikalisme dan terorisme di Aula SMA Muhammadiyah 1 Weleri Kendal, Jumat (20/5/2022).

Dia membawa audien untuk sedikit melacak sejak kapan isu radikalisme itu muncul? Pada kisaran abad ke-18, kata Awaludin, isu radikalisme telah muncul di Eropa, seperti di Jerman dan Amerika.

Radikalisme tidak hanya ada di agama Islam, tapi juga ada di agama lain,” ungkapnya.


Ketika masuk di Indonesia, kelompok radikal ini salah satunya dengan membawa ciri khas eksklusif, yakni menganggap paham lain kafir.

“Kedatangannya ditandai dengan hadirnya organisasi gerakan radikal. Mereka mempertanyakan dan meragukan ideologi Pancasila dan mengusung konsep negara Islam. Contohnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain-lain,” terangnya.

Permasalahan terorisme dalam dimensi international ada persepsi bahwa negara di bagian timur—termasuk masyarakat Indonesia, dalam kondisi tertindas, korban ketidakadilan dan menghadapi permasalahan kemiskinan. Ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyusup.

“Pertama, adanya faktor permasalahan kemiskinan dan adanya ketidakadilan. Maka tidak sedikit warga negera Indonesia cenderung mudah tergiur iming-iming apa pun. Uang, bahkan surga,” katanya.

Mereka memiliki strategi secara rapi dengan fase-fasenya. Membaca karakteristik, celah kelemahan masyarakat hingga melakukan cuci otak untuk berupaya memengaruhi dan mengubah pemahaman masyarakat.

Kalau kamu bisa nge-bom (membunuh orang kafir adalah jihad), maka kamu akan masuk surga, dijemput oleh bidadari. Ini paham apa?” ujarnya.


Kedua, faktor individual sangat tinggi. Budaya sosial dan tradisi gotong-royong lambat laun memudar. Bahkan masyarakat sekarang cenderung sangat individual, tidak peduli dengan orang lain.

“Ciri-ciri radikalisme ada fase-fase, seperti menjauhi keluarga karena keyakinan yang dianut sebelumnya salah, pemerintah yang berkuasa salah (karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak adil), bank adalah riba karena di zaman nabi tidak ada, dan seterusnya,” terangnya.

Dilihat dari penampilan fisik, memang kelompok ini rata-rata berjenggot. Tetapi tidak semua orang yang berjenggot merupakan kelompok radikal.

“Mereka juga memiliki karakter penampilan fisik dan model pakaian panjang kearab-araban. Bahkan memiliki warna kesukaan seperti warna abu-abu, biru tua, hitam atau cokelat tua,” katanya.

Pada fase lebih lanjut, mereka melakukan doktrinasi dengan berbagai pendekatan. Baik melalui ceramah, kajian-kajian, artikel, melalui video di media sosial.

“Maka dari itu, generasi muda harus hati-hati ketika belajar agama. Pilih guru yang terpercaya keilmuannya. Jangan mencari ustaz-ustaz yang selalu mengatakan orang lain (yang tidak sepaham) sebagai kafir,” ungkapnya.

Usai remaja kerap menjadi sasaran penyebaran radikalisme. Sebab, secara psikologis, remaja cenderung labil. “Dalam bahasa anak muda ‘galau’. Maka di masa itu sangat mudah disusupi pemahaman-pemahaman baru,” katanya.

Mendirikan Masjid Sendiri

Machmudi Hariono alias Yusuf, mantan Napiter yang pernah terlibat jaringan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) membenarkan, bahwa kelompok radikal cenderung menunjukkan eksklusivitas di tengah masyarakat.

“Cenderung memandang kepercayaan dan pemahaman yang lain salah. Mereka khusuk di masjid. Apabila tidak cocok dengan kelompok masyarakat NU dan Muhammadiyah misalnya, mereka akan mendirikan masjid sendiri,” katanya.

BACA JUGA: Cegah Radikalisme, Kesbangpol Gandeng Mantan Napiter ke Sekolah

Mengapa perempuan menjadi sasaran radikalisme dan menjadi pelaku teror bom bunuh diri? Yusuf menjelaskan hal itu menjadi salah satu bagian strategi bagi kelompok radikal ini.

“Sebab perempuan memiliki sifat bawaan berupa emosional yang tinggi. Ini dimanfaatkan sebagai alat cuci otak yang dianggap efektif. Misalnya di jaringan itu ada laki-laki yang sudah tidak mau perang lagi, maka perempuan juga harus berjuang, karena jihad adalah fardhu ain. Tidak harus izin orang tua, langsung berangkat. Maka terjadilah pengeboman yang di situ melibatkan perempuan,” ungkapnya. (*)

Komentar

Tulis Komentar