Ketika DPO Terorisme Manfaatkan Celah Hilir Mudik Lebaran

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Ini cerita lama dari dunia gerakan jihad radikal di bawah tanah. Tentang bagaimana menjalankan misi di bawah pengawasan pihak yang dianggap musuh dan tentang bagaimana orang-orang ini memanfaatkan celah kelengahan aparat keamanan.

Kala itu, seorang aktivis jihad radikal bernama Faris, melahap banyak tips dan panduan dalam melakukan kegiatan-kegiatan terkait operasi jihad radikalnya. Selama 5 tahun karirnya di dunia kelompok jihad radikal ia telah melewati banyak hal dan pengalaman.

Dia pernah dipercaya memegang simpul komunikasi antara pihak yang membutuhkan dana dan personel dengan orang-orang yang ingin bergabung dan menyumbangkan dana. Pernah juga beberapa kali dipercaya memindahkan persenjataan dari satu tempat ke tempat lainnya, di mana dia bahkan pernah memindahkan senjata antar pulau.

Beberapa kasus yang melibatkannya sempat nyaris membuatnya ditangkap, tapi oleh pihak kepolisian dianggap masih belum perlu ditangkap. Sengaja dibiarkan untuk memetakan jaringan mana saja yang terkait dengan dirinya. Hal ini terungkap setelah dirinya menjalani penyidikan oleh pihak kepolisian.

Petualangan Faris terhenti dua pekan menjelang puasa di tahun 2014. Dia ditangkap saat sedang mempersiapkan keberangkatan dua orang rekannya ke Suriah. Padahal saat itu dia sedang merencanakan perjalanan ke Palu untuk menjadi bagian dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Dia telah menyiapkan alibi dan bersiap untuk tugas mengurus media dan propaganda kelompok MIT. Di samping meneruskan tugas lama sebagai penghubung antara pendukung MIT dengan MIT dengan memanfaatkan teknologi internet.

Rencananya, Faris akan pergi ke Palu pada saat momen arus mudik lebaran. Kenapa memilih momen mudik? Tentu ada alasan di baliknya.

Berdasarkan tips dan trik yang ia dapatkan di forum online, memanfaatkan kepadatan lalu-lintas manusia adalah salah satu cara ampuh menyamarkan perjalanan seorang aktivis jihad radikal. Orang-orang tidak akan curiga ketika dalam perjalanan itu membawa banyak barang bawaan. Kemudian fokus para petugas keamanan adalah memastikan perjalanan itu tertib, bukan meneliti setiap penumpang dengan tujuan menemukan orang-orang yang mencurigakan. Dengan jumlah penumpang yang membeludak, memeriksa dengan teliti tentu akan mempersulit perjalanan banyak orang. Selain tentunya menguras tenaga. Padahal para petugas itu juga punya keluarga yang menuntut waktu lebih di momen menjelang lebaran.

Faris saat itu sudah merasa tidak aman, karena rekannya yang menyerahkan senjata sebelum dia pindahkan ke kota lain telah tertangkap. Maka dia perlu bersiasat dalam setiap perjalanan yang akan ia lakukan. Ia yakin dirinya sudah menjadi DPO sepenuhnya karena dalam sebuah pemberitaan media massa, kota tempat tinggalnya sudah disebut oleh polisi.

Maka, mulailah Faris mengubah penampilan di setiap perjalanan. Melepas semua alat komunikasi dan baru menggunakannya ketika telah sampai di tempat tujuan. Namun kelemahannya adalah, ia masih rajin mengabarkan kondisinya kepada keluarganya. Meskipun ia berganti-ganti perangkat dan SIM Card, tetap saja selalu terlacak pergerakannya.

Semuanya, baru ia ketahui setelah menjalani penyidikan. Dia sempat tersenyum di dalam hati ketika mengetahui betapa sulitnya pihak kepolisian menentukan di mana dirinya akan ditangkap karena seringnya berpindah-pindah tempat. Namun semua itu berakhir ketika Faris tidak bisa mengatur rekan-rekannya agar bisa tepat waktu sesuai yang ia inginkan. Ia terpaksa tinggal lama di suatu tempat yang membuat polisi memutuskan untuk segera menangkapnya sebelum berpindah lagi.

Hal yang menjadi pedoman, Faris dan kawan-kawannya dalam menjalankan operasi mereka adalah: setiap manusia punya batasan dan kelemahan. Aparat keamanan itu juga manusia. Pasti ada celahnya.

Namun di sisi aparat juga memiliki keyakinan yang sama. Setiap terduga teroris pasti memiliki titik kelemahan. Dan terkadang untuk menemukan kelemahan itu butuh upaya tidak sebentar. (*)

Komentar

Tulis Komentar