Pelanggaran HAM dan Pembiaran Eksploitasi Pekerja Migran di Atas Kapal

News

by Abdul Mughis

Praktik ini menjadi kejahatan terorganisir transnasional mengingat aktivitas industri perikanan global melibatkan banyak negara di dunia.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), bersama Human Rights Working Group (HRWG) dan Greenpeace Indonesia, terus melakukan advokasi atas karut marutnya tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia di kapal asing. Terutama Anak Buah Kapal (ABK) perikanan.

Praktik eksploitasi tenaga kerja di kapal asing ini telah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan telah menjadi mata rantai bisnis bagi perusahaan penyalur tenaga kerja, pengusaha kapal dan pejabat tertentu.

Ironisnya, perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut secara ugal-ugalan mengeruk keuntungan uang dengan cara mengeksploitasi para ABK.

Berbagai macam bentuk eksploitasi, mulai pemotongan gaji, gaji tidak dibayar, makan tidak layak, tidak mendapatkan akses kesehatan, sakit dibiarkan, tidak diberikan akses telekomunikasi dan human trafficking.

Bahkan penyiksaan, pemukulan hingga pembunuhan. Jenazah para ABK Indonesia dilarungkan di tengah laut tanpa persetujuan keluarga. Praktik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Indonesia.  Hingga saat ini tidak ada kebijakan yang berpihak terhadap ABK Perikanan, penindakan hukum lemah dan pengawasan yang minim menjadi penyebab praktik-praktik yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) ini terus terjadi.

Aktivis HAM dari Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, menilai sejauh ini pemerintah Indonesia cenderung melakukan pembiaran dengan tanpa membuat jaminan perlindungan hukum dan berupaya mendorong perlindungan.

“Sama halnya pemerintah sedang melakukan pembiaran atas praktik perbudakan terhadap ABK,” tegasnya, dalam sebuah acara diskusi online, belum lama ini.

Menurutnya, dalam situasi ini Presiden Joko Widodo wajib memimpin kabinetnya dan memanggil menteri-menterinya untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang mengutamakan keuntungan perorangan atau lembaga tersebut.

“Negara harus melindungi pekerja migran termasuk ABK melalui UU 18 Tahun 2017,” ujarnya.

Dia menyebut,  praktik eksploitasi terhadap ABK asal Indonesia serta beberapa negara lain di Asia Tenggara ini sebagai bagian dari kejahatan terorganisir transnasional mengingat aktivitas industri perikanan global ini melibatkan banyak negara di dunia.

“Tak hanya pada ABK, eksploitasi juga dilakukan terhadap sumber daya tangkapan laut. Stok ikan di beberapa daerah perairan menurun drastis akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan,” ungkapnya.

Termasuk salah urus penerbitan izin penangkapan yang tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya, dan banyaknya kapal penangkap ikan melebihi kuota, dan melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal.

“Peristiwa ini kemudian mengindikasi terjadinya penangkapan ikan berlebih atau overfishing,” tegasnya.

Sayangnya, lanjut dia, untuk menekan harga produk agar tetap kompetitif, para pemilik kapal mempekerjakan para tenaga kerja dengan upah rendah. Hal ini menempatkan para nelayan pada posisi rentan akan masalah keselamatan kerja saat bekerja di kapal-kapal tersebut.

“Inilah yang mendorong terjadinya kejahatan lintas batas negara, mengingat eksploitasi dan perampasan hak terhadap ABK migran kerap terjadi di laut lepas, ZEE dan di laut-laut perbatasan,” katanya.

BACA JUGA: Membongkar Praktik Perbudakan ABK Kapal melalui Film Before You Eat

Fakta ini sejalan dengan banyaknya aduan yang diterima oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) hingga tahun 2021 lalu. SBMI menerima pelaporan sebanyak 188 kasus di tahun 2021. “Ini merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno.

Ini menjadikan total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus. “Dari 188 kasus baru tersebut, 98 di antaranya berasal dari Jawa Tengah, 43 dari Jawa Barat, dan selebihnya dari berbagai provinsi lain di Indonesia,” bebernya.

BACA JUGA: Eks ABK Indonesia Surati Presiden, Desak Tangani Eksploitasi di Kapal Asing

Upaya advokasi yang dilakukan SBMI terkait kasus-kasus yang dialami ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing, sering kali terkendala karena terjadi tumpang tindih kewenangan. “Hingga saat ini juga belum ada Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan sebagai aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI,” kata Hariyanto.

Koordinator kebijakan laut Greenpeace Indonesia, Annisa Erou, menilai Presiden Republik Indonesia harus memiliki tanggung jawab untuk menghentikan praktik eksploitasi. Presiden juga harus memastikan perlindungan hak asasi manusia setiap ABK perikanan. “Apabila hal itu tidak dilakukan, maka negera melakukan pembiaran dan melakukan pelanggaran HAM,” katanya. (*)

Photo Credit: Biel Calderon/Greenpeace

Komentar

Tulis Komentar