Beberapa waktu belakangan ini cukup ramai diperbincangkan masalah perubahan baru logo halal di Indonesia. Kritik mengenai desain baru tersebut banyak dilontarkan oleh berbagai macam pihak, mulai dari desainnya yang kental dengan nilai politis, tidak ada tulisan “MUI” nya, hanya untuk kepentingan artistik, serta lebih seperti menonjolkan kearifan lokal (budaya Jawa saja) daripada nasional.
Dilansir dari sebuah artikel yang dirilis oleh website kemenag.go.id, Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham menerangkan filosofi dari logo tersebut yang terdiri atas dua objek, yaitu bentuk Gunungan dan motif Surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Ini melambangkan kehidupan manusia. Pernyataan ini tentu semakin memperjelas bahwa perubahan logo halal lebih mengedepankan kearifan lokal saja.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Penetapan label halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal.
Tapi, penting atau tidak sih kita memperdebatkan hal itu?
Menurut hemat saya, akan lebih baik kita memahami apa sebenarnya makna dan realisasi yang ada dari sebuah kata halal itu sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, saat kelompok teror bernama ISIS sedang berjibaku untuk mendapatkan kekuasaan di wilayah Timur Tengah, saya pernah masuk dan mendapatkan beberapa cerita menarik tentang kehalalan sebuah produk di mata para muhajirin (imigran) yang hendak pergi ke wilayah ISIS di Suriah.
Banyak dari mereka beranggapan bahwa makanan-makanan yang tidak diproduksi dari negeri Suriah itu tidaklah halal. Padahal pelabelan logo halal dalam kemasan makanan sudah sangat jelas tercantum pada produk tersebut. Di antara alasannya; produk itu dibuat oleh orang-orang zalim, munafik, fasik, zalim, tak beriman.
Contoh nyata yang terjadi di depan mata saya adalah dimuntahkannya daging kalengan oleh salah seorang muhajirin dari Jerman di mana daging tersebut diproduksi dari negara Turki.
Hal lain yang membuat saya bingung adalah saat saya membeli ayam ke pasar kemudian mencoba untuk menyembelih ayam tersebut. Alasannya karena ya balik lagi bahwa makanan (sembelihan) dari orang-orang diluar golongan mereka itu tidaklah halal (haram).
Sikap yang menurut saya agak hiperbolis tersebut sempat membuat saya berpikir dan kembali membuka ayat-ayat di dalam Alquran yang berkaitan dengan masalah kehalalan.
Secara tak langsung, para kaum ekstrimisme tersebut telah mengharamkan apa yang telah Tuhan halalkan. Larangan ini jelas tercantum dalam surat Al-Ma’idah ayat: 87. Mereka telah melampaui batas dalam hal ini.
Kemudian, ada 2 ayat lain yang bisa memperkuat bahwa perspektif tersebut salah di mana mereka anggap bahwa sembelihan orang-orang yang di luar golongan mereka itu tidak sah, ada di dalam ayat ke-5 dari surat Al-Ma’idah, berikut sedikit kutipannya:
“Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.”
Ayat kedua ada di dalam surat Al-Ma’idah ayat: 3, disitu sangat jelas bahwa makanan dan minuman apa saja yang diharamkan dalam agama Islam. Tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa sembelihan yang dilakukan oleh kalangan di luar golongan mereka, sekalipun dilakukan sesuai syariat Islam itu tidak halal.
Maka dari itu hal yang lebih krusial dan penting untuk disosialisasikan kepada publik adalah masalah substansi dan pengertian dari produk halal itu sendiri.