Bagaimana Nasib ISIS Pasca-Pimpinannya Tewas?

Analisa

by Kharis Hadirin

Konon, salah satu alasan Amerika Serikat tidak menjatuhkan bom atom di atas Kota Tokyo saat perang pasifik meletus, dikarenakan khawatir serangan tersebut justru akan membangkitkan kemarahan sang macan Asia. Padahal pihak Amerika mengetahui bahwa Tokyo merupakan ibu kota sekaligus tempat di mana Sang Kaisar beserta keluarganya tinggal.

Amerika berpikir, jika sampai sang kaisar terbunuh justru akan memantik semangat para prajurit Jepang untuk melawan Barat hingga titik darah penghabisan. Tentu, ini akan menjadikan perang memakan waktu lebih lama.

Itulah mengapa akhirnya Amerika menjatuhkan bomnya di atas Kota Hiroshima dan Nagasaki. Selain karena kedua kota tersebut padat penduduk, juga menjadi lokasi berkumpulnya para pasukan Jepang dan pusat pelabuhan embarkasi penting. Akibatnya kejatuhan bom atom, Jepang mengalami pukulan telak dan menyatakan perang tanpa syarat.

Kondisi seperti ini, sedikitnya menjadi pelajaran penting pascaterbunuhnya pimpinan ISIS, Abu Ibrahim Al Hasyimi Al Quraisy pada Kamis (3/2) lalu di Desa Atmeh, Idlib, Suriah.

Banyak pihak berspekulasi, matinya Abu Ibrahim akan mampu menghentikan pengaruh ISIS di seluruh dunia. Ironisnya, justru hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan saat ini.

Meski kini dunia dipenuhi berita konflik Suriah vs Ukraina, rasanya tidak pernah ada jeda bagi para simpatisan ISIS ini untuk terus menggalang kekuatan dan meneguhkan keyakinan.

Para simpatisan ini berprinsip, meninggalnya seorang pimpinan lantas tidak menjadikannya untuk larut dalam kesedihan. Ada perjuangan panjang yang harus tetap dilanjutkan dan gerbong jihad tetap harus berjalan. Justru, dengan gugurnya pimpinan mereka, ini menjadi pemantik bahwa jihad yang mereka yakini sebagai jihad sesungguhnya yang berdasar pada prinsip agama. Karenanya, mati dalam memperjuangkannya akan dinobatkan sebagai pejuang 'syuhada’.

Realita inilah yang kita bisa tangkap di banyak platform media sosial mereka, terutama Facebook dan Telegram. Narasi jihad dan khilafah seolah menjadi wejangan yang hampir setiap hari hilir mudik di beranda media. Bahkan tidak lama pascatewasnya pimpinan mereka, Abu Ibrahim Al Hasyimi, salah satu akun FB memposting sebuah nama yang konon akan menggantikan posisi pimpinan ISIS sebelumnya. Dalam keterangannya, akun tersebut mengajak kepada seluruh simpatisan ISIS untuk kembali berbaiat atau sumpah setia kepada pimpinan ISIS yang baru. Berita ini diklaim dari media resmi ISIS di Suriah, An Naba’. Namun, buru-buru postingan tersebut direvisi setelah diketahui bahwa statemen tersebut bukan dari media resmi ISIS.

Para simpatisan ISIS di Indonesia sendiri, meski banyak pimpinannya ditangkap oleh kepolisian, namun hal tersebut tidak membuat pengaruh kelompok ini redup. Bahkan boleh dibilang, mereka saat ini menjadi lebih sulit untuk dikendalikan. Pasalnya, para simpatisan ISIS tersebut kini terpecah menjadi sel-sel terputus dan bergerak secara acak. Kondisi seperti ini, jelas menyulitkan aparat kepolisian untuk melakukan deteksi dini terhadap berbagai ancaman teror.

Dengan kata lain, para simpatisan ISIS kini lebih memilih untuk bergerak dalam sunyi. Dan hal ini terjadi di hampir banyak kawasan yang dikuasai oleh sel-sel ISIS di belahan dunia, termasuk juga di Indonesia.

Sehingga, meski saat ini kelompok ISIS hampir tidak lagi terdengar gaungnya dan tenggelam oleh isu yang terjadi di Eropa, namun bukan berarti pengaruhnya benar-benar sirna. Bisa jadi, ISIS sedang membangun pondasi baru untuk menyiapkan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita tetap terus waspada dan jangan sampai lengah.

Sebagaimana pesan Bang Napi dalam acara Sergap yang tayang di stasiun televisi, “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Wasapalah! Waspadalah!

Komentar

Tulis Komentar