Damn, I Love Surakarta! Jatuh Cinta Setelah Melukai

Analisa

by Munir Kartono 1

Jatuh cinta setelah melukai. Kalimat itu mungkin yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati saya saat ini.

Tragedi bom bunuh diri 5 Juli 2016 silam di Mapolresta Surakarta bukan hanya membuat saya menjadi pesakitan setelah ditangkap Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Mabes Polri. Namun, noktah merah darah itu tidak hanya keluar dari luka yang dialami Bambang Adi Cahyanto yang menjadi korban bom tersebut. Dia adalah anggota Provost Polresta Surakarta, saat insiden terjadi.

Noktah merah darah itu membesar menjadi luka yang menyayat hati jajaran polisi di Surakarta hingga seluruh elemen masyarakat Surakarta. Apalagi keluarga besar Mas Bambang, demikian saya kini memanggilnya. Mereka sangat pantas untuk untuk membenci saya.

Itu pula yang membuat saya kemudian mengazzamkan diri alias berniat untuk datang ke Surakarta pascabebas dari penjara. Sadar telah menggoreskan luka, awal November 2021 lalu saya datang ke Surakarta untuk memohon maaf secara terbuka kepada seluruh pihak di Surakarta atas segala kesalahan yang telah saya lakukan.

Dalam pikiran saya, "Jika pun masyarakat Kota Surakarta tidak sudi memaafkan saya atau jika mereka mempersekusi saya bahkan mengeroyok saya hingga mati, mereka pantas untuk melakukannya." Namun, itu tidak pernah terjadi!

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang merupakan orang nomor satu di Surakarta dan pemimpin masyarakat Surakarta memberikan kesempatan saya untuk mengutarakan azzam tersebut di aula kantornya.

Demikian juga dengan Kapolresta Surakarta, Kombes Pol. Ade Safri Simanjuntak, termasuk pula Mas Bambang sendiri. Kini, Mas Bambang berpangkat Iptu.

Saat itu saya merasa menjadi seorang yang paling beruntung di dunia karena dalam pandangan saya tak mudah untuk memaafkan orang yang sudah melukai. Namun, Mas Bambang juga masyarakat Kota Surakarta memperlihatkan sebuah kehebatan dan kebesaran jiwa dengan sudi membukakan pintu maafnya kepada saya.

Hingga akhirnya sehari menjelang Imlek kemarin saya kembali berkesempatan untuk mengunjungi Surakarta. Ada kesan berbeda dari kunjungan saya kali ini. Jika perasaan haru-biru menjadi warna utama pada kunjungan pertama tadi, maka kesan tersebut berubah pada lawatan saya kali ini.

Saya sempat napak tilas perjalanan masa lalu saya di Surakarta. Mengunjungi beberapa tempat, termasuk juga ke sebuah rumah bercat putih dengan nuansa biru yang mewarnai kusen pintu dan jendelnya di bilangan Pasar Kliwon. Rumah yang di masa lampau menjadi kediaman seorang teman yang pada akhirnya menjadi partner saya dalam menebar teror. Meskipun kini dia entah di mana dan entah juga nasibnya bagaimana.

Setelah itu saya pun mengunjungi beberapa tempat lainnya. Salah satunya adalah Pasar Gedhe di Jl. Urip Sumohardjo. Sebagaimana pasar pada umumnya, suasana ramai memenuhi sudut Pasar Gedhe. Dan yang menariknya di hari Imlek, ornamen khas Tionghoa meramaikan suasana. Lampion-lampion menghiasi langit, anak-anak yang bermain mainan barongsai, menemani kecerian yang muncul dari warna merah yang dominan.

Warga Surakarta memang majemuk, yang asli suku Jawa terbelah dengan agama dan keyakinan yang berbeda. Namun, perbedaan tersebut lebur dalam kesadaran akan kesamaan, kekeluargaan dan keinginan untuk terus bisa hidup damai bersama berdampingan.

Tahun baru Imlek yang sebenarnya tahun barunya etnis Tionghoa pun menjadi semarak dan seolah menjadi hari raya bersama. Kebersamaan ini yang seharusnya tidak diganggu. Baik oleh saya di masa lalu ataupun oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan berbagai alasan.

Keguyuban dan kerukunan warga Surakarta menjadikan saya sadar. Bukan pelangi yang hanya punya satu warna dan bukan pelangi pula yang antarwarna saling terpisah. Disebut pelangi karena ada berbagai warna dan menjadi indah karena warna pelangi berdampingan, melebur dan menyajikan gradasi keindahan. Damn, I Love This City. I Love Surakarta!

Komentar

Tulis Komentar