Pendanaan adalah salah satu unsur penting terjadinya kasus terorisme. Semua pergerakan dan peralatan yang dibutuhkan pasti membutuhkan pendanaan. Tidak ada dana tidak ada gerakan. Itu sudah merupakan sebuah keniscayaan.
Maka dari itu, logikanya bila kita bisa memutus atau mencegah pendanaan untuk perencanaan aksi teror, maka kita bisa mencegah terjadinya aksi teror. Tapi persoalannya adalah: bagaimana cara memutus atau mencegahnya? Apakah dengan menangkapi sebanyak mungkin para pelaku fundraising (penggalangan dana) bisa memutusnya?
Secara hukum alam, bila sebuah sumber penghidupan terputus atau diputus, maka pasti akan berusaha mendapatkan sumber penghidupan yang baru. Demikian pula dalam dunia pergerakan kelompok teroris. Bila satu pintu tertutup mereka pasti akan mencari celah pintu yang lain.
Artinya diperlukan usaha terus menerus untuk mempersempit ruang gerak mereka ini, sehingga bisa menekan pertumbuhan mereka sedemikian rupa. Kita memang tidak akan bisa menghentikan mereka dalam arti benar-benar berhenti, tetapi setidaknya kita bisa menghambat perkembangannya. Dengan begitu diharapkan mereka bisa berpikir ulang untuk tetap menempuh jalan perjuangan yang seperti itu atau mengubah jalan perjuangannya.
Dalam pendanaan terorisme upaya pencegahannya itu lebih sulit dari penindakan. Kenapa pencegahan itu lebih sulit? Karena upaya pencegahan berarti upaya untuk menutup semua pintu atau peluang yang bisa dimanfaatkan untuk pendanaan terorisme. Dan untuk mengetahui pintu atau celah mana saja yang berpotensi dimanfaatkan oleh para calon pelaku aksi teror itu memerlukan kajian dan penelitian yang luas secara terus menerus dan sedetail mungkin.
Sementara, penindakan terkait pendanaan terorisme itu adalah soal operasi penegakan hukum dan proses hukum, yang mana obyeknya sudah jelas, yaitu fokus pada para pelakunya. Operasi penegakan hukum saat ini memang mayoritas berhasil mencegah terjadinya aksi teror karena dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme, aparat penegak hukum diberikan wewenang untuk melakukan operasi penegakan hukum dalam rangka mencegah terjadinya aksi teror. Bukti awal yang dibutuhkan lebih sedikit. Adanya temuan intelijen soal pembahasan rencana sebuah aksi atau keterkaitan dengan pelaku yang ditangkap sebelumnya sudah bisa dijadikan justifikasi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Seringkali kita membaca berita penangkapan terduga teroris dengan barang bukti yang mengarah pada persiapan dari sebuah plot aksi teror. Artinya sudah terjadi pembelian bahan atau peralatan. Sudah terjadi praktik pendanaan terorisme meskipun belum terjadi aksi terornya.
Pencegahan pendanaan terorisme ada di tahapan sebelum itu. Yaitu bagaimana mencegah agar pelaku atau perencana aksi teror tidak bisa mendapatkan bahan atau peralatan untuk aksi teror itu. Ini tentu lebih sulit. Banyak tantangannya seiring kemajuan teknologi.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil diskusi dengan rekan-rekan dari stakeholder terkait, ada beberapa tantangan dalam pencegahan pendanaan terorisme. Antara lain sebagai berikut:
Pertama, semakin banyaknya pelaku teror individual yang tidak memerlukan banyak biaya. Kasus penusukan Wiranto di Banten pada Oktober 2019 lalu, ketika itu Wiranto menjabat Menkopolhukam. Kemudian, penyerangan anggota Polri dengan senjata tajam di beberapa wilayah, adalah contoh bahwa aksi teror saat ini bisa dilakukan oleh individu dengan biaya yang sangat minimalis. Hal ini tentu saja semakin sulit terpantau sehingga sulit dicegah.
Kedua, berkembangnya teknologi yang membuka peluang mendapatkan pendanaan dari sumber-sumber yang sama sekali baru.
Contoh untuk hal ini adalah: di tahun 2020 terungkap ada salah satu terduga teroris yang mendapatkan dana untuk merencanakan aksi teror yang diperoleh dari 11 pinjaman online yang sebagian besar ilegal.
Ketiga, meningkatnya penyebaran paham radikal-ekstrem di internet. Penyebaran paham radikal-ekstrem sejatinya merupakan titik awal penggalangan dana untuk kegiatan terkait terorisme. Karena sebenarnya tujuan utama penyebaran paham radikal-ekstrem setelah memperbanyak pengikut adalah untuk mendapatkan dana dari para pengikut barunya itu. Jadi, melawan penyebaran paham radikal-ekstrem di internet pada dasarnya merupakan bagian dari pencegahan pendanaan terorisme.
Keempat, rendahnya kesadaran masyarakat akan potensi keterlibatan tanpa sengaja dalam pendanaan terorisme.
Salah seorang kolega menjelaskan, bahwa kebanyakan masyarakat kita hanya menganggap pendanaan terorisme itu selalu dalam urusan uang. Padahal meminjamkan tempat untuk kegiatan terkait terorisme juga merupakan bagian dari pendanaan terorisme. Ini merupakan salah satu contoh bukti rendahnya kesadaran masyarakat kita.
Kelima, E-Commerce yang memudahkan pelaku teror mendapatkan bahan/alat tanpa terdeteksi. Para pelaku bom Surabaya tahun 2018 konon membeli bahan untuk membuat bom sedikit demi sedikit melalui e-commerce. Regulasi yang mengatur pembelian bahan kimia melalu e-commerce sejauh ini belum ada. Siapa yang mengawasi pun belum ada (mohon dikoreksi bila salah). Sehingga siapapun bisa membeli tanpa syarat apapun.
Itulah beberapa tantangan dalam pencegahan pendanaan terorisme yang bisa kami sampaikan untuk saat ini. Tantangan-tantangan lainnya tentu masih banyak lagi bila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas.
Komentar