Sehari Bersama ‘Sang Pengantin’

News

by Munir Kartono

“Akhi pikeeet”

Suara cempreng yang melengking tajam itu menyadarkan saya dari lamunan saat Honda Jazz milik Pak Noor Huda Ismail yang saya tumpangi melaju lurus melewati Yogyakarta International Airport (YIA) menuju sebuah desa di pinggiran Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Saya tersenyum sendiri mengingat kalimat di atas. “Dia, yang beda!,” gumam saya. Saya dan pemilik suara itu akan kembali bertemu setelah beberapa tahun tak bersua. Kami memang pernah terpaksa tinggal di area yang sama sekitar setahun, periode 2016-2017. Kamar yang terpaksa kami huni pun saling berseberangan. Ya, kami saat itu menempati sel di blok A Rutan Mako Brimob Kelapa Dua – Depok sebagai tahanan kasus terorisme.

Tak terasa mobil pun telah memasuki wilayah Kabupaten Purworejo. Saya dan seorang kru ruangobrol.id yang menemani mlipir sejenak untuk menelpon saudari itu. Dan akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke rumahnya.

“Mas, kita langsung ke tempat pagelaran Jaran Kepang, yuk,” ajaknya, setelah kami sampai dan sedikit beramah-tamah dengannya dan juga ibunya. Kami pun langsung menuju tempat yang ditunjukkan. Pagelaran Jaran Kepang Turonggo  Sakti di Desa Semawung – Purworejo.

Perempuan bergamis lebar dan bercadar ini begitu bersemangat sambil membimbing kami menuju tempat acara. Tak ada kesan canggung, risih, apalagi anggapan bahwa orang sepertinya adalah musuh budaya. Tempat acaranya sudah riuh rendah oleh para warga desa saat kami tiba di sana. Aparatur pemerintahan setempat pun juga hadir dan kami pun membaur bersama mereka.

Saudari kami ini mengajak kami berkenalan dengan pimpinan kelompok kesenian itu, kepala desa setempat, serta aparat bintara pembina desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang hadir. Sangat guyub, akrab, penuh canda tawa dan tak ada jarak di antara kami. Bahkan saya yang hadir dibuat terkesima. Aksi kesenian ini tidak hanya dilakukan oleh para anggota yang sudah dewasa atau sepuh, para anak-anak muda bahkan anak usia SD sudah turut serta dalam pagelaran. Sangat menarik.

Hingga menjelang waktu Zuhur, acara kesenian ini pun berhenti sejenak untuk istirahat dan salat. Saudari kami ini kemudian memberitahu jika di desa sebelah juga ada kegiatan budaya lain dan mengajak kami ke sana.

“Di desa sebelah ada Dolalak, Mas. Ayo kita ke sana,” ajaknya.

Saya yang belum pernah tahu kesenian Dolalak berusaha mencari tahu di Google. Sayang sinyal tidak bersahabat, dan akhirnya saya hanya pasrah untuk lihat langsung. Akhirnya setelah berkendara sekira 30 menit, kami sampai di Desa Plipir – Purworejo untuk menyaksikan kegiatan kesenian Dolalak Putri Dewi Karya.

Ika Puspita Sari (bercadar) di tengah-tengah warga

Dan saya pun kembali terkesima. Bukan hanya terkesima dengan pagelaran budayanya. Tapi suasana guyub yang terpancar di sana. Para sesepuh, aparatur desa, RT, RW, Babinsa, Bhabinkamtibmas dan warga berbaur akrab. Mereka bercengkerama dengan akrabnya, termasuk dengan saudari kita ini. Sekali lagi, tak ada jarak di antara kami semua.

Menjelang senja kami pun menutup kebersamaan ini di tempat makan lesehan di emperan sebuah toko di perempatan yang ada patung W.R. Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya.

Saudari saya ini adalah Ika Puspita Sari. Google dan media mainstream mungkin masih senang dengan terus mengingat seorang Ika sebagai pelaku aksi teror. Tapi setelah apa yang kami lalui hari ini, saya meyakini bahwa Ika ini adalah seorang manusia yang periang, sangat menghargai nilai budaya dan kesenian dan mampu berbaur dengan segenap kalangan masyarakat, jauh dari kesan eksklusif dari yang banyak dibayangkan.

Terus bertumbuh dan berkembang Mbak Ika, saya adalah bagian dari keluargamu yang akan terus mendukung tiap-tiap langkah baikmu. Terus melangkah dan seize the day!

Komentar

Tulis Komentar