Tantangan Sinergisitas Penanggulangan Terorisme

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Dalam proses penanggulangan terorisme, penangkapan dan proses hukum terhadap tersangka kasus terorisme merupakan sebagian kecil saja dari proses panjang yang harus dilakukan. Bahkan sejatinya persoalan yang lebih besar dimulai sejak terjadinya penangkapan pada seorang terduga teroris. Yaitu persoalan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh kerluarga terduga teroris.

Anak-anak yang rawan di-bully karena ayahnya ditangkap atas tuduhan terorisme, stigma negatif dari masyarakat, pendidikan anak-anak yang terganggu, kesulitan ekonomi karena tulang punggung keluarganya dipenjara, dan seterusnya, merupakan persoalan-persoalan yang masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Persoalan-persoalan di atas bila dilihat sekilas memang sepertinya tidak akan menimbulkan masalah baru. Namun bukankah kekecewaan pada lingkungan (termasuk negara) bisa memicu seseorang untuk membenci negara atau minimal mencari ‘lingkungan alternatif’ yang membuat mereka nyaman? Bagaimana bila ‘lingkungan alternatif’ itu berupa kelompok dengan pemahaman yang dilarang oleh negara?

‘Lingkungan alternatif’ ini bisa melanggengkan narasi perjuangan yang diusung oleh kelompok itu. Jika narasi perjuangan mereka tetap langgeng, maka konsep penanggulangan terorisme kita patut dipertanyakan. Karena mata rantainya belum bisa diputus, maka regenerasi pelaku tindak pidana terorisme itu akan selalu ada. Dan penanggulangan terorisme ini seakan tidak akan pernah menemukan ujung akhirnya.

Perlunya Sinergisitas

Pemerintah dalam hal ini bukannya tanpa usaha. Di lingkungan lembaga negara sudah banyak pihak yang bermain di isu ini. Ada BNPT yang memang khusus dibentuk untuk urusan penanggulangan terorisme. Ada POLRI, ada TNI, BIN, dan ada pula beberapa kementerian terkait. Masing-masing melakukan upaya-upaya yang dianggap dapat mengurangi ancaman radikalisme-terorisme.

Seharusnya dengan banyaknya pemain di isu penanganan radikalisme-terorisme, khususnya pada para napiter dan eks napiter serta keluarganya itu, penanganannya di Indonesia menjadi lebih efektif atau tepat guna. Tapi pertanyaannya adalah: Apakah kenyataan atau hasil di lapangan seindah ungkapan para pejabat negara terkait?

Untuk mendapat jawaban yang obyektif, kita juga harus bertanya kepada para napiter dan eks napiter yang menjadi sasaran kegiatan semua pihak yang bermain. Tidak hanya pada mereka yang sukses dibina tapi juga pada yang gagal. Apa yang menyebabkan pembinaan sukses dan apa yang menyebabkannya gagal?

Seringnya masyarakat disuguhi kisah-kisah sukses pembinaan. Padahal banyak juga yang kurang berhasil atau bahkan sebenarnya banyak pula yang gagal. Jika hanya yang berhasil saja yang diekspose, itu sama saja dengan menjual barang tanpa menyebutkan cacat yang ada. Sehingga masyarakat menganggap sudah bagus, eh ternyata ada kurang lebih 11% eks napiter yang terlibat kasus terorisme lagi (data dari IPAC).

Sebenarnya agak sulit juga menggambarkan tingkat keberhasilan atau efektifitas kegiatan para pemain itu. Karena masing-masing pemain memiliki tolok ukur atau patokan yang berbeda-beda.

Misalnya saja : di lingkungan lembaga negara kriteria keberhasilan versi BNPT itu bisa jadi berbeda dengan versi POLRI.

Di sinilah perlunya sinergisitas antar lembaga negara. Lembaga negara itu semua kebijakannya didanai oleh APBN. Sayang jika anggaran yang besar tidak menghasilkan sesuatu yang tepat guna. Apalagi jika anggaran itu diperoleh dari hutang. Kan ambyar jadinya.

Tantangan Dalam Sinergisitas

Persoalannya adalah: sinergisitas itu mudah dikampanyekan tapi sulit dilaksanakan. Adanya ‘persaingan’ antar lembaga negara itu tak dapat dipungkiri. Masing-masing ingin menunjukkan bahwa mereka telah bekerja dengan baik.

Sayangnya di lapangan seringkali mereka ini mengulangi sesuatu yang sudah dilakukan oleh lembaga lain. Atau melakukan sesuatu yang berbeda tetapi dengan maksud menunjukkan bahwa lembaganya lebih baik dari lembaga lain.

Sehingga yang ada bukan saling bersinergi, melainkan saling unjuk kebolehan masing-masing. Dan lebih disayangkan lagi seringkali kebolehannya itu hanya satu bagian saja dalam masalah penanganan radikalisme-terorisme. Padahal persoalan radikalisme-terorisme itu sangat kompleks.

Komentar

Tulis Komentar