Kekhasan Indonesia Menyebabkan Terorisme Tumbuh Subur

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Banyak yang bertanya-tanya, kenapa Indonesia menjadi negara dengan kasus terorisme tertinggi di Asia Tenggara? Ancaman paham radikal yang mengarah pada ekstremisme-terorisme memang menjadi ancaman di semua negara tidak hanya di Asia Tenggara. Tetapi kasus teror terbanyak terjadi di Indonesia.

Setiap negara memiliki kondisi yang berbeda-beda dan memiliki kekhasan masing-masing. Dalam isu terorisme, Indonesia memiliki sejarah panjang ‘pertempuran’ antara pemerintah yang berkuasa dengan pihak yang tidak puas dengan negara. Dari yang bermotif agama sampai perebutan hak penguasaan atas sebuah wilayah. Dari DI/TII, PRRI-PERMESTA, APRA, GAM, sampai yang masih ada hingga kini: MIT dan KKB Papua.

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, ditambah beragamnya latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan, membuat semua pihak bisa bersatu itu membutuhkan usaha yang keras. Hal ini tentu berbeda dengan mengatur negara yang jauh lebih kecil dari Indonesia.

Di samping itu, proses memperoleh kemerdekaannya pun memiliki kekhasan sendiri. Indonesia memperoleh kemerdekaannya setelah melalui perang panjang melawan penjajah. Bukan karena dilepaskan oleh penjajah. Berbagai kelompok masyarakat dari berbagai daerah terlibat dalam peperangan melawan penjajah.

Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan pun kita masih harus berperang melawan tentara Sekutu dan NICA untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita peroleh. Peristiwa Bandung Lautan Api, Soerabaia 45, Serangan Umum 1 Maret 1949, Perang Gerilya Jenderal Sudirman, dan yang lainnya membuktikan bahwa kita masih melakukan banyak peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan.

Artinya, masyarakat Indonesia itu memiliki sejarah peperangan yang panjang. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi cara menyikapi ketidakpuasan suatu kelompok masyarakat terhadap pemerintah di awal negara ini berdiri. Ketika ada sekelompok masyarakat yang tidak puas dan memiliki basis pendukung yang memiliki kemampuan militer (karena pernah terlibat dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan), maka lahirnya gerakan pemberontakan bersenjata bukanlah sesuatu yang sulit.



Adanya Kelompok yang Terjebak Romantisme Perjuangan di Awal Kemerdekaan

Di kalangan para aktivis kelompok gerakan Islam masa kini, mereka menganggap bahwa kondisi umat Islam di Indonesia yang mayoritas ini tidak baik-baik saja. Dekadensi moral, perilaku korup, kriminalitas merajalela, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya merupakan bukti bahwa kondisi memang tidak baik-baik saja.

Lalu ada sebagian yang menganggap kondisi itu disebabkan oleh ulah musuh-musuh Islam yang memaksa umat Islam mengikuti sistem di luar Islam. Dari sini kemudian muncul berbagai bentuk gerakan untuk menyelesaikan persoalan itu.

Ada yang bertarung dengan berkompetisi beradu amal nyata menyelesaikan persoalan umat di lapangan tanpa peduli sistem yang berlaku di negara ini. Ada yang sibuk mempromosikan tentang sistem alternatif tapi minim amal nyata. Ada yang mencoba mewarnai sistem tatanan negara melalui masuk di parlemen dan pemerintahan. Dan ada juga yang ingin mengubah sistem melalui jalan perjuangan yang pada tahapan tertentu membolehkan aksi perlawanan bersenjata.

Kelompok yang disebut terakhir inilah yang kemudian sering bermasalah. Di satu sisi mereka ini juga berusaha memberikan solusi bagi permasalahan umat di lapangan, tetapi di sisi lain masih menyimpan ‘hasrat dari masa lalu’ untuk menguasai sebuah wilayah di mana bisa menerapkan syariat Islam sepenuhnya.

Hasrat dari masa lalu untuk menguasai wilayah ini seringkali menabrak realitas masa kini. Memori akan romantisme perlawanan bersenjata dari masa lalu masih dianggap sebagai jalan untuk memperoleh kekuasaan atas sebuah wilayah. Padahal kondisinya telah jauh berubah.

Perkembangan teknologi militer, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengubah segalanya. Cara dakwah, penggalangan opini, dan pemantauan perkembangan gerakan, dan lain-lain, semuanya ikut berubah.

Sisi yang lain itu membuat kelompok ini kemudian membekali para kader pilihan mereka dengan kemampuan militer namun tidak jelas kapan kemampuan militer itu akan digunakan. Hal ini membuat orang-orang dengan kemampuan militer ini sering galau. Jika orang-orang-orang ini kemudian karena provokasi lalu menggunakan kemampuan militernya tidak pada waktu dan tempat yang benar, maka terjadilah kekacauan.

Jadi, kenapa tidak mengubah jalan perjuangan menjadi yang lebih mudah dikontrol dan fokus untuk menghasilkan dampak yang lebih dahsyat pada kondisi umat tanpa bertabrakan dengan konsesnsus bersama yang telah disepakati?

Komentar

Tulis Komentar