Tragedi Bom Mapolresta Surakarta: 500 KM untuk Kemaafan (I)

Analisa

by Munir Kartono

Selasa, 2 November 2021

Mendung dan rintik hujan menemani saat kaki saya melangkah menuju sebuah Avanza putih yang sudah terparkir di jalan di depan rumah. Pasca berpamitan dengan orangtua dan seluruh anggota keluarga, dengan ditemani tiga orang kru ruangobrol.id, keempat roda Avanza pun mulai bergerak melintasi jalanan tanah berbatu yang entah kapan akan diaspal itu.

Saya meraih sebuah jaket hitam yang sengaja tidak saya masukkan ke dalam tas. Terkadang tubuh saya memang agak rewel dalam menghadapi perubahan cuaca yang drastis. Terkadang ngilu di sekujur tubuh menyertai saat hari menjadi dingin dan menjadi gatal saat hari menjadi sangat terik.

Pandangan saya mengarah ke sekitaran jalanan yang agak lengang dikarenakan hujan. Meskipun mobil diisi oleh empat orang ditambah satu anak saya yang masih kecil, suasana di sepanjang jalan menularkan keheningan dan sendu ke dalam mobil. Saya memilih untuk diam dan menikmati kesenduan.

Suasana yangmembawa saya mengingat kembali pesan Bapak saat tadi berpamitan. Sebuah pesan yang saya anggap bukan sekadar sebuah petuah seorang Bapak pada anaknya, melainkan sebuah saran dari seorang lelaki dewasa yang telah menikmati asam garam kehidupan kepada seorang lelaki yang sedang mengarungi derasnya riam kehidupan.

“Inilah sikap lelaki yang benar. Jika telah melakukan kesalahan, jangan takut untuk mengakuinya. Dan jangan pernah ragu untuk meminta maaf. Kamu harus bisa terima dan berbesar hati atas tiap resiko yang mungkin akan terjadi nanti jika itu konsekuensi logisnya. Jalani prosesnya dan cari kemaafan dan keikhlasannya.”

Selain Ibu, Bapak memang menempati satu ruang spesial di hati saya. Bukan hanya begitu banyak fragmen di kehidupan yang melibatkan saya dan Bapak, melainkan Bapak merupakan figur seorang lelaki luar biasa dengan segala pengorbanan, ketulusan dan pengabdiannya untuk keluarga. Ah, Bapak. Hanya satu kalimat yang selalu terngiang di benak saya tiap kali mengingat Bapak, “Maafkan saya, Pak.”

Kaki-kaki mobil kian lincah berlari saat melintasi Tol Jagorawi. Rintik hujan belum juga reda seakan sangat ingin menemani perjalanan panjang saya menuju Surakarta alias Solo.

Kesenduan juga belum mau beranjak dari pikiran. Pandangan saya kosong menembus langit muram, garis-garis yang muncul di ujung horizon bukan lagi bias warna-warni pelangi melainkan kumpulan goresan yang membentuk siluet seorang perempuan. Seorang perempuan mulia yang 17 tahun menemani saya dengan begitu sabar dan teguh di tengah badai kehidupan yang saya persembahkan, perempuan yang siang tadi saya tinggalkan di sebuah warung kecil yang kami miliki dengan deraian tangis dan air mata.

“Maafkan saya. Perjalanan saya belum selesai, saya harus pergi lagi. Saya harus melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Dosa seorang manusia pada manusia lain hanya bisa ditebus dengan kemaafan. Saya tidak akan tenang sampai orang itu mau memaafkan saya. Tolong jaga anak-anak dan saya titip keluarga saya. Apapun risikonya nanti harus saya terima, meskipun orang itu menuntut balas.”

Perempuan itu hanya terisak.  Kebesaran jiwanya menuntun untuk menerima segala beban kehidupan yang telah ia lewati dan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.

Sebuah pesan muncul di layar ponsel yang membuyarkan lamunan saya, ternyata sebuah pesan dari Bapak M.D. Shodiq, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88/AT Polri.

“Assalamu’alaikum, saya minta maaf tidak bisa menemani perjalanannya ke Solo karena ada tugas lainnya. Saya juga menyampaikan salam dari Bapak Kepala, semoga perjalanan dan semua kegiatannya lancar dan dimudahkan Allah.”

Saya tertegun melihat pesan itu. Saya kembali mengingat momen-momen dulu bagaimana saya begitu membenci Densus dan pemerintah, namun ternyata Tuhan berkendak lain. Melalui tangan merekalah salah satunya yang sangat berperan besar dalam menuntun saya untuk menyadari segala kesalahan. Saya pun membalas pesan itu,

“Wa’alaikum salam, Pak. Saya nggak bisa bilang apa-apa lagi, Pak. Saya sudah sangat bersyukur sudah bisa berjalan sejauh ini. Ditambah lagi Bapak (Densus), ruangobrol.id, Setara Institute, Polrestabes dan Pemerintah Kota Surakarta mau membantu saya untuk mewujudkan apa yang sudah lama saya janjikan pada diri saya untuk meminta maaf kepada korban dan seluruh masyarakat Surakarta. Terima kasih, Pak.”

Tak berselang lama muncul lagi balasan, “Apa yang Mas Munir janjikan adalah kebaikan. Kami sangat senang bisa membantu mewujudkan kebaikan untuk kita semua. Di Solo sudah ada perwira saya dan timnya yang nanti juga akan menemani Mas Munir. Dan Insya Allah hari ini Pak Jim (Kasubdit Sosialisi Idensos Densus 88) juga akan berangkat ke Solo untuk mewakili saya menemani Mas Munir. Nanti Pak Jim akan mengontak Mas Munir. Bismillah, semangat, ya.”

Saya tidak sempat membalas lagi pesan tersebut. Sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel saya. Ternyata Pak Jim menelpon saya. Beberapa waktu kami berbincang. Pak Jim bukanlah orang yang baru saya kenal. Beliau adalah salah satu partner ngobrol, diskusi bahkan brain storming selama saya di dalam Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Bahkan Beliau pun sempat menemui saat saya ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Jarum jam menunjuk tepat ke angka 12 saat mobil memasuki Kota Surakarta. Malam melukiskan keheningan kota ini. Namun, saya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran-kekhawatiran yang mendadak masuk ke pikiran saya begitu sampai di Kota ini. Besok saya akan bertemu dengan orang yang telah menjadi korban dari aksi yang saya lakukan bersama beberapa orang lainnya. Apakah dia sudi bertemu dengan saya, orang yang dulu mencelakakannya? Apakah dia berkenan memaafkan saya? Apakah dia nanti akan menuntut balas atas tiap luka yang dia alami? Apakah saya akan kembali ke penjara jika dia nanti menuntut? Saya hanya bisa mengatur napas untuk menenangkan diri sambil beristighfar.

“Mas, kita mau cari makan dulu atau langsung ke hotel?,” tanya seorang kru ruangobrol.id di samping saya.

Saya yang agak galau diam sejenak. Lalu menjawab, “Saya capek banget, Mas. Kayanya saya pingin langsung ke hotel aja.”

Akhirnya mobil pun melaju ke arah sebuah hotel di sekitar Manahan. Dan setelah menurunkan beberapa bawaan dan parkir, kami pun check in dan berjalan menuju kamar yang sudah dipesan.

Saya menempati kamar bersama anak kedua saya yang meminta ikut ke Surakarta. Namun, yang terjadi, saya tidak bisa beristirahat dengan nyaman di kamar. Bayangan pertanyaan-pertanyaan di atas berputar di kepala saya. Dan makin saya berusaha untuk memejamkan mata, pertanyaan-pertanyaan itu makin terus berputar. Entah jam berapa akhirnya saya bisa ketiduran dan bangun saat waktu salat Subuh.

... (bersambung)

 

FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Bangkai sepeda motor yang rusak berat setelah digunakan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta tahun 2016 silam.

Komentar

Tulis Komentar