Rasisme Sepak Bola Peringatan Bahaya Konflik Manusia

Analisa

by Munir Kartono 1

Laga lanjutan Seri A Liga Italia antara Juventus vs AC Milan sempat menorehkan tinta merah di dunia sepak bola. Pada laga yang digelar 20 September lalu, seorang suporter tuan rumah menjadi aktor rasisme setelah mencemooh warna kulit kiper AC Milan, Mike Maignan.

AC Milan langsung merespons. Klub yang bermarkas di Milan Italia itu mengunggah soal rasisme yang menimpa kipernya di Twitternya, memprotes dalam sebuah twit yang dilengkapi video.

Tak berhenti sampai di situ, AC Milan pun melayangkan nota keberatan kepada pihak Juventus. Gayung pun bersambut. Juventus merespons keberatan yang dilayangkan AC Milan dengan melakukan aksi nyata dengan menjatuhkan hukuman tidak boleh masuk stadion bagi fans tersebut seumur hidup. Fans tersebut juga dikeluarkan dari organisasi fans klub.

Gaung anti-rasisme dalam sepak bola memang terus disuarakan. Tidak hanya FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola dunia, FIGC sebagai -“PSSI”-nya Italia dan otoritas sepak bola di masing-masing negara terus berteriak untuk memeranginya. Namun, seiring makin kencangnya kampanye anti-rasisme yang lakukan otoritas sepak bola dunia beserta para pemain dunia, masih saja ada segelintir oknum manusia yang melakukan aksi tak terpuji itu.

Para oknum tersebut seolah tidak mengerti, bahwa aksi rasisme yang dilakukannya tidak hanya bisa melunturkan keindahan sepak bola sebagai pemersatu manusia di jagad raya. Namun lebih parah, sejarah telah mencatat bagaimana aksi rasisme bisa menjadi akar tindakan ekstremisme dan radikalisme yang berujung pada konflik horizontal bahkan perang antar-anak manusia.

Rasisme itu bencana dunia bukan hanya sepak bola

Di pertengahan abad ke-19, Amerika Serikat, negara yang sering dicap sebagai kampiun demokrasi, harus menerima pil pahit. Berbagai kekacauan, kekejaman dan pembunuhan keji terjadi di belahan selatan negeri tersebut.

Kekacauan ini dilakukan oleh organisasi teroris rasial yang disebut sebagai Ku Klux Klan atau “The Klan”. Awalnya isu yang dikembangkan oleh para anggota kelompok ini adalah isu seputar supremasi orang kulit putih, namun dalam perkembangan selanjutnya isu tersebut berkembang dengan serangkaian anti, semisal anti-katholik, anti-kulit hitam, anti-Yahudi, anti-Muslim, anti-imigran Asia.

Berbagai tindakan pembunuhan rasial pun terjadi dan memakan korban yang begitu banyak. Termasuk tokoh HAM seperti Viola Liuzzo, dan DR. Martin Luther King.

Bergeser ke benua Afrika, praktik rasial apartheid yang terjadi di Afrika Selatan, sukses mendiskriminasi kehidupan orang kulit hitam yang notabene ‘pribumi’ hingga kesenjangan politik dan sosial yang parah terjadi. Sampai pecahnya kerusuhan anti-apartheid di Sharpeville pada 21 Maret 1960 kehidupan warga kulit hitam makin sengsara. Bahkan hak berpolitik mereka pun dikebiri hingga partai politik orang kulit hitam dianggap illegal dan para politisi kulit hitam ditangkapi dan dipenjara, termasuk Nelson Mandela.

Kisah tragis rasial pun terjadi saat konflik di Suriah. Kelompok ISIS membantai suku Kurdi yang mereka anggap sosialis dan orang-orang Islam yang mereka anggap murtad. Gianluca Mezzofiore, seorang koresponden IBSTimes, pada tahun 2015 menulis bahwa orang-orang ISIS datang ke kamp pengungsi Yarmouk di dekat Damaskus, lalu mengeksekusi beberapa orang, memenggal kepalanya dan memainkan sebagai bola seperti di permainan sepak bola.

Tak hanya di luar negeri, tragedi berdarah yang diwarnai oleh konflik rasial pun pernah terjadi di negeri ini. Tragedi Sampit 1996-1997 misalnya. Berbagai versi tentang kronologi terjadinya konflik ini bertebaran di media massa, namun semuanya tidak bisa menutupi keterlibatan dua kelompok etnis besar di Indonesia yaitu Suku Dayak dan Madura. Bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun yang perlu digarisbawahi dari tragedi ini, tak kurang 600 jiwa anak manusia melayang.

Tragedi Jakarta 1998 pun tak bisa dikesampingkan. Tragedi Trisakti yang menuntut mundurnya Soeharto dari tampuk kepresidenan dan krisis finansial yang melanda negara-negara Asia, berkembang dan meluas menjadi tragedi rasial terhadap etnis Tionghoa. Kerusuhan dan tindak penjarahan terhadap harta-benda milik etnis Tionghoa pun terjadi. Hampir seluruh rolling door toko-toko dicoret milik Muslim atau milik etnis tertentu agar tidak dijarah.

Tragedi di atas hanyalah sekelumit contoh kecil dari berbagai bencana kemanusian yang terjadi akibat sikap rasisme. Sikap rasisme tidak bisa dianggap enteng atau menjadi bahan guyonan di warung kopi karena sifatnya sensitif dan dapat berakibat fatal.

Rasisme bukan hanya musuh bagi semua klub sepak bola dan para fansnya, melainkan musuh bersama tiap anak manusia.

 

Komentar

Tulis Komentar