JI Berubah Pola, Densus 88 Terapkan Strategi Baru

News

by Eka Setiawan

Densus Direktur Idensos Densus 88/Antiteror Polri Kombes Pol. M.D. Shodiq

 

Jamaah Islamiyah (JI) sudah ditetapkan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan di Indonesia berdasar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sejak April 2007 silam. Namun, regenerasinya hingga kini masih terus berjalan.

JI terus bermetamorfosa sedemikian rupa. Pasca-pembubarannya hingga sekarang, organisasi yang ada di balik sejumlah aksi pemboman di Indonesia itu memang belum muncul dengan aksi terornya. Strategi yang diubah perlu diikuti pula dengan perubahan pola penanganannya.

Hal itu dikatakan Direktur Identifikasi Sosialisasi (Idensos) Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri Kombes Pol. M.D. Shodiq, saat menjadi pemateri Diskusi Publik Daring "Al Jamaah Islamiyah Dahulu, Kini, dan di Masa Mendatang" diselenggarakan Universitas Indonesia, Selasa (12/10/2021).

"Kami melakukan pendekatan humanis di samping penegakkan hukum, oleh unit-unit Idensos di seluruh Indonesia. Puncaknya kemarin tangkap Abu Rusydan, secara umum peta JI sudah down tetapi regenerasi terus berjalan," ungkap perwira menengah Polri ini.

Salah satu faktor penyebab JI hingga sekarang terus hidup dan berjalan adalah sumber-sumber pendanaan yang juga berubah polanya.

JI masa lalu, sumber pendanaannya mengandalkan kiriman dari Al Qaeda lewat Hambali dan sejumlah fa'i seperti perampokan toko emas maupun bank.

Tetapi saat ini, sumber pendanaan mereka melalui internal anggota menyisihkan penghasilannya hingga membentuk yayasan-yayasan, di antaranya; Syam Organizer, Abdurrahman bin Auf, One Care, Perisasi hingga Hilal Amar. Ini pula yang sampai hari ini terus dikejar oleh Densus 88.

Untuk jumlah anggota JI hari ini, Shodiq menyebut ada 6.000 hingga 7.000 orang di Indonesia. Ada juga semacam sekolahan sebanyak 67 buah di Indonesia milik JI. Ini jadi pemasok sumber daya manusia (SDM) JI. Mereka juga mempersiapkan jihad global dengan membangun sasana-sasana atau tempat pelatihan dan 10 terbaik lulusanya dikirim ke Suriah maupun Afghanistan.

Selain masih menggunakan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI), ada juga 3 pembaruan pedoman pergerakan, yaitu: srategi tamkin, total amniyah total solution (TAS TOS), dan jihad global.

"Ini sejak kepemimpinan Para Wijayanto, tahun 2008 sampai sekarang. Tidak pernah aksi teror, membunuh dan sebagainya belum nampak. Temuan kami, JI berorientasi pada jihad global, supporting dananya makin masif," lanjut Shodiq yang juga Pembina Utama Yayasan DeBintal ini.

Secara jumlah, Shodiq memaparkan sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 silam hingga sekarang ada 2.914 teroris dilakukan penegakkan hukum. Mereka berangkat dari berbagai kelompok, mulai dari Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Anshor Daulah (JAD), Jamaah Anshoru Tauhid (JAT), Jamaah Anshoru Khilafah (JAK), Katibah Al Iman, Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Firqoh Abu Hamzah (FAH), Taliban Melayu hingga JI itu sendiri.

Dari total itu, terbesar adalah dari JI dengan 876 yang ditangkap. Shodiq juga memberi contoh untuk kelompok Taliban Melayu terlibat bom masjid di Cirebon (Masjid Az-Zikra Mapolres Cirebon, 2011) dan 42 tersangkanya ditangkap ketika itu.

Shodiq menegaskan, selain penegakkan hukum sesuai regulasi terbaru yakni Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pihaknya terus melakukan upaya pendekatan humanis dari status tersangka, terdakwa, terpidana hingga eks narapidana terorisme (napiter).

"Insya Allah kalau terus diamanahi dan pendekatannya tepat, tidak ada lagi residivisme. Sekarang ada 1.334 eks napiter dalam genggaman kami," kata Shodiq.

Pendiri ruangobrol.id, Noor Huda Ismail, yang juga menjadi pemateri diskusi itu mengemukakan ada banyak tantangan ke depan yang muncul dari JI ini seiring transformasi dan regenerasinya.

"JI jangan hanya dibaca sebagai kelompok teror, hari ini JI terlibat dalam praktik politik, misalnya mereka menyediakan ambulans gratis, mencoba menyelesaikan masalah yang masyarakat perlu," kata Huda.

Persoalan JI, sebut alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo ini, ada di doktrinnya, yakni; dakwah dan jihad.

Huda menawarkan alternatif penyelesaian persoalan ini dengan "credible voices". Yakni, mentransformasi para mantan napiter untuk ikut berperan aktif di masyarakat dalam upaya pencegahan.

Program yang sudah dilakukan Huda dan timnya, salah satunya; selama 1 tahun terakhir melatih RT/RW hingga lingkup desa atau kelurahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menciptakan suasana kondusif jelang kebebasan napiter kembali ke lingkungannya.

Dua "credible voices" jadi "mentors" di sini; yakni Arif Budi Setyawan (Jawa Timur) dan Machmudi Hariono alias Yusuf (Jawa Tengah). Hasil program ini di antaranya film dokumenter bertajuk "The Mentors" dan buku "Menanti yang Kembali: Kumpulan Kisah dari Sebuah Upaya Reintegrasi Narapidana Teroris".

Sementara, Sudirman dari Yayasan Penyintas Indonesia, menyampaikan keinginan pihaknya untuk dilibatkan aktif dalam upaya-upaya pencegahan. Yayasan ini mewadahi para korban teror bom di Indonesia.

Sudirman (Yayasan Penyintas Indonesia)

 

"Kami tidak ingin ada korban-korban berikutnya, itu visi dan misi kami. Bagi kami ada dua prinsip; ketidakadilan tidak bisa dibalas ketidakadilan, kebencian tidak bisan dibalas kebencian. Itu tidak selesaikan masalah," kata Sudirman.

Sudirman sendiri menjadi cacat akibat ledakan Bom Kedubes Australia atau dikenal Bom Kuningan tahun 2004 silam. Ketika itu dia seorang sekuriti, bom meledak sekira 10 meter di depannya.

"Sampai hari ini saya masih bergantung pada obat-obatan. Memang untuk ini (wujudkan visi dan misi) kami harus siapkan para korban, karena tidak semua korban bisa lakukan itu," ungkapnya.

Dosen Program Studi Kajian Terorisme UI, Amanah Nurish, mengemukakan meskipun pendekatan humanis dilakukan, tetapi penegakkan hukum juga perlu terus dilakukan untuk persoalan terorisme di Indonesia ini.

Komentar

Tulis Komentar