Bom Bali Oktober 2002 yang Mengubah Peta Perjuangan Jamaah Islamiyah

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Memasuki bulan Oktober, saya selalu teringat dengan dua peristiwa besar yang terjadi di bulan Oktober dan mempengaruhi hidup saya. Yang pertama adalah peristiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan yang kedua adalah hari kebebasan saya dari penjara pada 23 Oktober 2017.

Saya masih ingat bagaimana pertama kali saya mengetahui ada peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 adalah ketika saya menemui salah satu donatur masjid untuk mengambil dana untuk acara pengajian akbar menyambut bulan suci Ramadhan. Ketika saya datang di hari Ahad tanggal 13 Oktober 2002 setelah Isya’ sesuai janji sebelumnya, bapak donatur itu sedang menonton berita di TV yang menayangkan berita tentang bom yang meledak di Bali.

Sebelumnya saya sama sekali tidak mengetahui adanya peristiwa itu karena kesibukan saya pada waktu itu sehingga tidak sempat nonton TV atau baca koran. Saya tersentak kaget. Kok bisa ada serangan bom sedahsyat itu di Bali yang selama ini tenang dan damai? Kalau bom meledak di Ambon atau Poso itu sudah biasa. Tapi ini di Bali.

Sepulang dari rumah bapak donatur itu saya masih diliputi tanda tanya besar terkait siapa pelaku di balik bom sedahsyat itu dan apa kira-kira motifnya. Mulai saat itu saya kemudian terus mengikuti perkembangan kasus bom Bali itu melalui media cetak dan elektronik. Kebetulan di dekat tempat kost ada agen koran dan wartel tempat saya biasa menonton TV.

Jawaban dari semua pertanyaan itu mulai sedikit terkuak ketika mulai terjadi penangkapan terhadap Amrozy di Tenggulun Solokuro Lamongan sebulan pasca terjadinya bom Bali. Berita ditangkapnya Amrozy sangat mengejutkan seluruh masyarakat Indonesia, terlebih lagi saya. Mengapa? Karena saya tahu siapa beliau. Beliau adalah salah satu dari keluarga pendiri pesantren saya yaitu Pesantren Al Islam Tenggulun Solokuro.

Hal itu membuat saya mulai menerka-nerka bahwa pelaku bom Bali terkait dengan jihad Ambon. Hal ini kemudian diperkuat dengan ditemukannya berbagai senjata api dan ribuan amunisi di hutan Dadapan tak jauh dari pesantren Al Islam seminggu kemudian. Dan yang lebih mengejutkan lagi ada beberapa kakak senior saya di pesantren dulu yang menjadi tersangka dalam kasus penimbunan senjata dan amunisi itu.

Setelah itu berturut-turut kemudian terjadi penangkapan terhadap para tersangka pelaku lainnya termasuk para tokoh utamanya yaitu : Imam Samudra dan kelompoknya di Banten, Ustaz Muhklas di Klaten, dan pak Ali Imron di Kalimantan Timur.

Dengan ditangkapnya Pak Ali Imron berarti ada tiga bersaudara dari Tenggulun yang terlibat bom Bali. Sesuatu yang sangat mengejutkan dan menggemparkan dunia. Bagaimana bisa sebuah desa terpencil nan gersang melahirkan para pelaku utama bom Bali yang sangat dahsyat? Banyak orang yang masih belum percaya bahwa bom sedahsyat itu adalah buatan orang Indonesia.

Kalau tidak salah di akhir bulan Januari 2003 kepolisian merilis pernyataan bahwa para pelaku bom Bali yang sudah tertangkap merupakan anggota kelompok yang mereka sebut sebagai Jamaah Islamiyah dan menuding organisasi Jamaah Islamiyah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas serangan bom Bali itu.

Nama Jamaah Islamiyah (JI) sebelumnya sudah pernah dimunculkan pada waktu penangkapan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir di bulan Oktober 2002 yang konon menurut informasi intelijen adalah ketua JI yang memiliki afiliasi dengan Al Qaidah. Artinya bom Bali ini ada hubungannya dengan Al Qaidah yang merupakan tertuduh pelaku serangan WTC 11 September 2001. Begitulah menurut kepolisian.

Nama Jamaah Islamiyah pada waktu itu awalnya saya anggap sebagai nama rekaan polisi untuk menyebut jaringan pelaku bom Bali. Tetapi saya penasaran dengan Jamaah Islamiyah ini. Saya kemudian mencoba mencari tahu dengan menanyakannya kepada ‘ustaz paling senior’ yang biasa saya datangi untuk berdiskusi dan menanyakan kabar perkembangan dakwah di daerahnya.

Perkataan beliau yang paling saya ingat adalah:

“... bahwa organisasi Jamaah Islamiyah (JI) itu memang benar adanya meskipun mayoritas orang saat ini masih meragukan keberadaannya. Dan ketahuilah bahwa jaringan pesantren kita termasuk Al Islam yang berawal dari Pesantren Al Mu’min Ngruki itu adalah di bawah naungan Jamaah Islamiyah. Semua pesantren itu adalah aset JI di bidang dakwah dan pendidikan.”.

Saya sangat terkejut dengan penjelasan bahwa pesantren Al Islam termasuk jaringan pesantren Jamaah Islamiyah. Jadi selama ini para alumninya termasuk saya adalah kader-kader JI? Apa sebenarnya program perjuangan JI itu? Apakah semua pelaku Bom Bali yang sudah tertangkap adalah kader JI juga? Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran saya.

Tetapi pada saat itu juga ada perkataan beliau yang kemudian menjadi titik awal saya mengetahui bahwa tidak semua anggota JI setuju dengan aksi serangan Bom Bali dan bahwa JI akan menjadi ‘musuh negara’ dalam jangka panjang.

“...Aku berpendapat bahwa kemungkinan besar, cepat atau lambat, tandhim JI ini akan diacak-acak oleh aparat keamanan. Karena sejauh ini para tersangka pelaku Bom Bali yang sudah tertangkap adalah anggota atau kader JI. Tetapi amaliyah (aksi) bom Bali itu bukan kebijakan resmi tandhim JI seperti pada kasus jihad Ambon-Poso. Aksi itu adalah hasil ijtihad Ustaz Mukhlas dan kawan-kawannya. Meskipun seandainya aku diajak untuk amaliyah itu aku akan menolak karena aku telah memilih peranku sebagai pendakwah di tengah masyarakat, tetapi aku bisa memahami ijtihad mereka. ”, begitu penjelasan beliau.

Jamaah Islamiyah yang Masih Terus Diburu

Sampai hari ini setelah 19 tahun berlalu dari peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002, nama Jamaah Islamiyah masih cukup ditakuti. Pasalnya, JI bukannya semakin melemah tetapi justru berhasil bangkit dan tumbuh semakin kuat meskipun tidak lagi melakukan serangan sejak 2009.

JI di bawah kepemimpinan Para Wijayanto memang menjauhi aksi serangan karena belajar dari kasus-kasus yang sudah terjadi. Di mana berdasarkan evaluasi internal, aksi-aksi itu justru merugikan dan merusak rencana jangka panjang JI.

Namun JI juga tidak bisa meninggalkan aspek ‘jihad’ dalam gerakannya. Maka jadilah mereka memilih jalan ‘mempersiapkan jihad’ sebagai program utama di samping bidang dakwah yang menjadi ‘pasangan hidup’ dari konsep jihad JI.

Namun, dengan UU Terorisme terbaru, kegiatan-kegiatan ‘mempersiapkan jihad’ itu lebih banyak lagi yang bisa dikenai delik terorisme. Sehingga semua yang terkait kegiatan tersebut, termasuk penggalangan dana, bisa ditindak berdasarkan UU Terorisme.

Komentar

Tulis Komentar