Keunikan Residivisme Mantan Napiter Kelompok Jamaah Islamiyah (2-habis)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Komitmen dan Fleksibilitas: Kunci Strategi Jamaah Islamiyah

Di dalam gerakannya, Jamaah Islamiyah (JI) selalu berprinsip “biar lambat asal selamat (sukses)”. Boleh terluka karena ulah lawan-lawannya seperti penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan para kadernya, tapi jamaah harus tetap bertahan.

Dahulu salah satu ustaz pembina saya pernah berkata ketika mengomentari banyaknya anggota JI yang tertangkap dan terbunuh pada peristiwa penyerbuan polisi ke Tanah Runtuh Poso pada Januari 2007:

Luka-luka seperti itu –penangkapan dan pembunuhan-- apabila kita mampu bertahan, justru akan semakin menambah daya kenyal jamaah. Seperti bola karet, yang semakin berat menerima tekanan, maka kelak akan semakin kuat pula pantulan baliknya”.

Saat itu saya belum sepenuhnya memahami perkataan beliau. Tapi di tahun 2014 ketika saya menjalani penahanan bersama teman-teman dari kelompok JI Klaten (kasus bengkel senjata) dan mendengar cerita mereka tentang bagaimana JI itu masih terus berkembang dalam format baru, saya baru mulai memahami sepenuhnya perkataan beliau saat itu.

Sejujurnya saya sempat berpikir JI sudah habis di bagian ‘jihad’nya. Hanya masih eksis di bagian dakwahnya. Namun, ternyata tidak. Secara resmi JI masih memelihara keberlangsungan sisi ‘jihad’ itu. Yaitu dengan terus mempersiapkan kekuatan.

Kembali pada prinsip “biar lambat asal selamat” tadi. Konsep hidup berjamaah dalam gerakan JI adalah sesuatu yang baku. Tidak berubah. Tetapi dalam metode dan cara beramalnya bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini.

Kita bisa melihat cara terbaru JI dalam beramal yang tergolong cerdik dalam pendanaan. Temuan ribuan kotak infak adalah bukti akan hal ini. Lalu dalam melakukan persiapan kemampuan fisik, ditemukan adanya beberapa sasana olehraga yang dikelola dan digunakan oleh JI dalam melatih anggotanya yang terpilih.

Dalam kasus para anggota JI yang dipenjara karena kasus yang merupakan kebijakan resmi jamaah, seperti kasus bengkel senjata kelompok JI Klaten yang ditahan baeng saya saat itu, mereka akan mendapat perhatian dan layanan dari jamaah. Keluarganya disantuni, mendapat kiriman logistik ke penjara, pendampingan hukum, dan sebagainya.

Hal ini akan membuat ikatan dengan jamaah justru akan semakin kuat. Filosofi ‘bola karet’ itu benar-benar terjadi. Semakin ditekan akan semakin besar daya pantulnya. Jadi, ketika bebas nanti pun mereka ini kemungkinan kembali meneruskan kehidupan berjamaahnya akan sangat besar.

Lalu bagaimana seorang mantan narapidana teroris (napiter) dari kelompok JI itu bisa diterima kembali di dalam jamaah setelah bebas dari penjara?

Sebagai mantan napiter, tentu pergerakan mereka tidak sebebas seperti sebelum dipenjara. Ada mekanisme pengawasan dan kontrol berkala dari aparat negara terkait. Apalagi yang bebas karena mendapatkan pembebasan bersyarat.

Sejauh dari yang saya ketahui, rata-rata mereka ini pada setahun atau dua tahun pertama akan fokus pada recovery (pemulihan). Merintis usaha atau pekerjaan baru sambil memulihkan hubungan sosial dengan keluarga/kerabat dan masyarakat adalah hal yang pertama kali mereka lakukan. Meyakinkan pada masyarakat bahwa mereka sudah baik-baik saja adalah prioritas pertama.

Pada fase pemulihan ini, hubungan dengan jamaah hanya sebatas saling mengabarkan kondisi melalui jalur komunikasi tanpa pertemuan.

Pada tahapan selanjutnya mereka mulai mengikuti kegiatan jamaah yang sifatnya legal dan diikuti oleh masyarakat umum. Misalnya kegiatan pengajian atau ceramah umum atau kegiatan bakti sosial.

Kemudian setelah itu, apabila dirasa mantan napiter JI itu telah cukup membuktikan loyalitasnya, barulah akan dilibatkan dalam urusan pengembangan jamaah sesuai bidang yang bisa dilakukan dengan aman. Kata ‘aman’ menjadi kunci. JI tetap tidak ingin anggotanya itu masuk penjara untuk yang kedua kalinya.

Dalam contoh kasus seperti pada tulisan bagian pertama, kedua mantan napiter JI itu dilibatkan dalam mengelola pesantren milik JI sebagai amal yang dianggap aman. Namun, seiring perjalanan waktu, karena terus berhubungan dengan unsur jamaah yang lain, ada persinggungan tugas yang berpotensi dapat dijerat dengan UU Terorisme.

Misalnya menjadi panitia seleksi kader yang akan diberangkatkan ke Suriah. Atau mengkoordinasikan penggalangan dana yang sebagian dananya digunakan untuk kepentingan divisi ‘jihad’ JI. Atau yang paling ringan adalah mengikuti rapat yang membahas tentang kegiatan di divisi ‘jihad’.

Ketiga contoh kegiatan ini bisa dijerat dengan UU Terorisme tapi sangat mungkin mereka menganggapnya tidak demikian. Dianggap masih aman atau melakukannya karena tuntutan kondisi.

Di sinilah letak ‘keunikan’ permasalahan residivisme pada mantan napiter anggota JI. Mereka tetap ingin hidup berjamaah, namun kemudian dilibatkan dalam kegiatan yang dikira aman dari jeratan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tapi ternyata bisa dijerat.

Dengan adanya penangkapan besar-besaran terhadap anggota JI dalam 3 tahun terakhir ini, saya meyakini bahwa JI akan berusaha untuk terus bertahan dengan mengubah pola atau metode gerakannya. Karena konsep hidup berjamaah dalam gerakan JI adalah sesuatu yang baku, tetapi dalam metode dan cara beramalnya bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini.

Komentar

Tulis Komentar