Keunikan Residivisme Mantan Napiter Kelompok JI (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Densus 88/Antiteror Polri menangkap 58 terduga teroris pada rentang waktu 13-20 Agustus 2021 lalu. Mayoritas yang ditangkap berasal dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Di antara para terduga teroris JI yang ditangkap itu ada dua orang yang saya ketahui merupakan mantan narapidana teroris (napiter).

Pertama adalah mantan napiter kasus Bom Bali 1 2002 yang bebas pada awal 2007 lalu. Dulu ia terlibat dalam membantu pelarian Pak Ale (Ali Imron) dan menyimpan senjata titipan Pak Ale. Mendapatkan vonis 6 tahun penjara dan bebas bersyarat setelah menjalani 4 tahun penjara.

Setelah bebas, dirinya kembali ke pondok pesantren yang ia dirikan bersama kawan-kawannya dan melanjutkan tugasnya sebagai pengasuh pesantren. Pesantrennya itu merupakan salah satu pesantren jaringan kelompok JI. Meskipun demikian, dalam kesehariannya ia dikenal sebagai sosok yang cukup moderat, bisa membaur dengan masyarakat, dan memperoleh banyak simpati dari masyarakat.

Karena JI memiliki prinsip bahwa perjuangan mereka harus didukung oleh umat, maka pesantren-pesantren mereka itu berfungsi sebagai basis dakwah di suatu wilayah dan sebagai tempat pengkaderan calon generasi penerus perjuangan. JI juga memfungsikan pesantren sebagai basis untuk membangun ikatan yang kuat dengan masyarakat sekitar.

Yang kedua adalah mantan napiter kasus mutilasi siswi SMA Kristen di Poso pada tahun 2005. Pada pertengahan 2006 ia ditangkap dan pada awal 2007 ia mendapatkan vonis 20 tahun penjara. Ia kemudian bebas bersyarat pada akhir 2016.

Setelah bebas dirinya kemudian bergabung ke sebuah pesantren yang terkoneksi dengan jaringan JI. Ia menjadi salah satu ustaz di pesantren itu dan pengurus yayasan yang menaungi pesantren tersebut.

Sejak masih di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) ia telah menunjukkan perubahan sikap menjadi lebih moderat dan terbuka. Salah satu tokoh ormas Islam terbesar di Sulawesi Tengah menjadi salah satu mentornya selama dipenjara.

Hubungan baik dengan mentornya tersebut terus berlanjut sampai setelah bebas dan bahkan hingga ia kembali ditangkap Densus 88 pada tanggal 20 Agustus yang lalu. Semenjak bebas dari penjara, ia sering dilibatkan dalam kampanye-kampanye perdamaian di wilayah Poso dan Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Selama ini mentornya sangat bangga dengan semua pencapaiannya sebagai aktivis perdamaian. Namanya pun sudah tidak asing lagi bagi publik Poso dan sekitarnya. Ia cukup dikenal sebagai tokoh yang moderat dan mampu merangkul para mantan napiter agar mau bersinergi dengan berbagai pihak.

Namun semua orang yang mengenalnya terkejut, ketika pada hari Jumat sore 20 Agustus yang lalu ia ditangkap oleh aparat keamanan. Entah karena tersangkut kasus apa. Masih menjadi tanda tanya. Tetapi yang jelas semua tak menyangka, sosok sebaik itu, semoderat itu, dan secara kasat mata tak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan, tiba-tiba ditangkap lagi oleh aparat keamanan.



Identik

Kedua orang di atas memiliki dua kesamaan yang identik meskipun terpisah jarak dan waktu, yaitu:

Sama-sama anggota JI dan setelah bebas dari penjara sama-sama kembali berkiprah di pesantren jaringan JI.

Keduanya sama-sama menjadikan aktivitas membantu pesantren sebagai ‘ajang pembuktian’ bahwa mereka masih setia pada perjuangan JI. Di mana nantinya mereka akhirnya dipercaya lagi untuk mengemban tugas dari jamaah. Entah di bagian dakwah atau di bagian ‘jihad’, dua bidang yang menjadi inti dari gerakan JI.

Bagaimana seorang mantan napiter dari kelompok JI bisa memiliki loyalitas yang sedemikian kuatnya, yang bahkan mampu menyembunyikan loyalitasnya itu dari pandangan orang awam? Nantikan pada bagian kedua dari tulisan ini. (Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar